Metode belajar yang cocok untukmu apa?
Lagi-lagi sesi tanggapan makalah dihiasi pembahasan beraneka rupa. Mulai dari yang teoretis seputar permasalahan dalam makalah seperti sistematika penulisan, editorial, dan sharing ide, hingga wacana-wacana kekinian yang terjadi di dunia kemasisiran.
Sedikit banyak, harapanku ingin mendapatkan circle diskusi sesama perempuan terkabul. Meski terjadi di waktu yang relatif singkat dan tempat yang lumayan jauh, intensitas pertemuan yang padat membuat kami semakin akrab dan terbiasa mengobrol hal-hal ringan, tapi bukan ghibah. Kami berdiskusi santai. Sering juga pembahasan yang diajukan dalam forum tidak terjawab (hal ini juga sering terjadi di kelas itu), teralihkan ke pembahasan lain yang sama-sama menyisakan tanda tanya. Memberi ruang bagi kami untuk berkontemplasi setelahnya.
Simpel saja contohnya.
Tadi, senior pembimbingku yang baru, mengungkapkan ketidaksetujuannya atas metode yang digunakan sebuah lembaga belajar. Yang kutangkap, lembaga tersebut tidak memberikan ruang bagi pelajarnya untuk berdiskusi dan berkembang. Malah, membuat mereka terus-terusan berada pada level pemula (yang hanya dijejali banyak teori ilmu alat saja) tanpa pernah bisa menggunakan alat yang selama ini mereka geluti. Pisau yang tak pernah dipergunakan, apa fungsinya?
Di sisi lain, ketika pelajar yang levelnya pemula itu ditanya kenapa tidak lekas naik level, jawabannya, belajar itu harus step by step. Ibarat naik tangga, tidak mungkin langsung loncat ke anak tangga tertinggi begitu saja, harus naik satu persatu. (Kurasa agar pemahamannya terhadap ilmu utuh).
Kedua metode belajar tersebut punya kelebihan juga kekurangan.
Metode pertama mungkin cocok bagi mereka yang sudah dibekali pengetahuan dasar terkait ilmu-ilmu alat yang dibutuhkan untuk mendalami berbagai kitab lain. Minimal bisa paham dengan baik berbagai kitab yang akan menjadi referensi untuk pengembangan ide nantinya.
Lalu bagaimana dengan mereka yang ketika sampai di Mesir ini belum mendapatkan bekal ilmu alat yang cukup? Metode kedua mungkin bisa menjadi solusi yang baik.
Perbedaan mendasar antara dua metode tersebut terletak pada goals atau tujuan yang hendak dituju.
Metode pertama menitik beratkan pada pengembangan naluri berpikir, membangun ide dan gagasan, menstimulasi pelajar untuk berdialektika dan berkreasi terhadap berbagai kitab yang ia baca. (Bagi yang belum terbekali dengan ilmu alat yang mantap, bisa jadi yang ia kembangkan adalah rangkaian ma'lumat). Pelajar dibentuk untuk menjadi peneliti (dan problem solver teoretis?)
Sedangkan metode kedua berfokus untuk mencetak ulama yang benar-benar malakah (menguasai dengan detil dan hafal) terhadap syariat islam. Di mana pendalaman terhadap teks, kemampauan mengahafal, dan kerunutan tingkatan ilmu diperhatikan penuh. Tentunya untuk menjadi ahli dalam sebuah bidang (bahkan ulama) memerlukan waktu yang lama. Karena waktu yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan sebuah tingkatan memang cukup lama, tak heran bila pelajarnya banyak yang 'terlihat' stuck di tingkatan pemula.
Kesimpulannya,
Satu metode mungkin cocok bagi sebagian orang, dan kurang pas bagi sebagian yang lain, dan itu tidak mengapa. Setiap orang bisa memilih mana yang sekiranya cocok bagi dirinya, tanpa perlu saling menyalahkan atau sinis satu sama lain.
Selamat mendalami!
Senin, 28/02/2022
Isra' Miraj, 27/Rajab/1433