F Kisah empat butir buah pear - Satpam Abbasea

Kisah empat butir buah pear

Sore itu ditemani bunyi motor yang pergi menjauh, gadis kecil bermata bulat itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, lalu dengan tanpa bicara, tersenyum malu menyerahkan sebungkus kresek putih kepada ibuku.

Kutengok isinya. Empat buah pear besar yang ranum beralaskan sterofoam dibungkus plastik wrap rapat. Segar sekali. Tepat sesaat sebelum gadis kecil itu beranjak pulang, ibuku menyelipkan beberapa lembar uang ke dalam tasnya.

" Ini, buat Ibumu, ya. Uangnya di sini.."

Oh, rupanya, itu pesanan buah ibuku kemarin.
Sudah menjadi kebiasaan ibuku membeli buah-buahan sebagai camilan. Karena penderita penyakit gula memang tidak boleh sembarangan makan camilan.
Terbayang renyah dan segar buah pear yang nantinya akan kumakan sebelum semuanya dihabiskan oleh ibu.

Saat buah pertama dibelah dengan semangat, beberapa detik saja, potongan buah itu sudah ada di dalam perut ibu.

"Hmm.. Buah Pear yang unik. Sangat lembut.."

Demi mendengar ibu yang berkata demikian, kami sertamerta merebut pisau dari tangan beliau dan mulai membelah potongan yang lain. Dan benar saja, buah pear itu benar benar lembut, ada apa gerangan?

Setelah beberapa detik terdiam, sontak kami semua menepuk jidat.
Pasti buah-buahan ini habis dimasukkan freezer!

Sama halnya dengan jelly, ketika benda lunak dan kenyal itu masuk ke dalam freezer ( ingat, freezer, bukan sekedar kulkas) yang terjadi adalah, kekenyalannya menghilang. Teksturnya menjadi keras, dengan bentuk keriput dan ukuran yang mengkerut. Terasa seperti rumput laut.

Buah pear ini sebaliknya, buah yang awalnya kaku, renyah, dan penuh air ini berubah menjadi super lembut dan lembek, seperti makan buah semangka tua yang kurang masak.

Kami kehilangan semangat untuk meneruskan makan. Jadilah buah pear itu penghuni lemari pendingin selama beberapa hari.

Hari ini perutku terus berbisik. Bukan karena lapar, tapi karena ingin menyantap sekerat kudapan.

Kubuka pintu kulkas dengan harap harap cemas. Kudapati seplastik rujak gobet segar di pojok sana melambai-lambai ke arahku.

" Aah.. sedap! "

Segera kuringkus. Berhubung rujak itu dibeli bukan dengan uangku, aku cukup tahu diri. Kutuang setengah saja kuah kacang rujak itu ke dalam mangkok. Coklat, dingin, dan sedap. Hanya saja kurang isi.

Kuputar otakku, kubuka lagi kulkas dengan penuh harap. Kali ini yang menyapaku adalah empat buah pear yang gagal disantap kemarin. Tiga di antaranya masih mulus belum tersentuh. Satu lagi tinggal sepotong, sudah kuning warnanya, lembek, dan terlihat nelangsa.

Hatiku akhirnya luluh. Kupungut sebuah pear yang masih mulus. Tak apalah, lembek sedikit. Toh, nanti juga dimakan dengan kuah kacang rujak Gobet. Pasti enak.

Saat pisau menembus kulit dagingnya aku terkejut. Buah ini tidak selembek kelihatannya. Hatiku girang.
Benar saja. Buah pear ini normal. Dagingnya kaku, berserat, segar dan manis.

Tanpa sadar tanganku mulai memotongnya tipis-tipis, mencampurnya ke dalam mangkuk dengan kuah kacang yang berkilat-kilat. Dan, dalam sekejap semangkok  rujak Gobet penuh buah pear tadi kosong.

Dari situ aku terus berpikir.
" Bagaimana bisa empat buah pear dalam satu wadah bisa memiliki tekstur dan rasa yang berbeda, jika semuanya sama-sama dimasukkan ke dalam freezer?"

Segala kemungkinan memang bisa saja terjadi, tapi pelajaran yang dapat kuambil adalah,

" Jangan menilai sesuatu hanya dari kesan pertama. Kita tidak akan pernah tau sebelum mencoba."



Malang, 3 Oktober 2019


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar