Dalam rangka menyusun pola berpikir, memantik keingintahuan dan mengenal kitab klasik (turots) beserta metode para ulama dalam menyusun sebuah kitab, kami diberi sebuah tugas untuk menjelaskan kitab-kitab penjelas (syuruhat) Sohih Bukhori mulai dari biogarafi hingga sistematika penulisan kitabnya.
Yang menjadi pertanyaan wajib bagi kami kala presentasi adalah,
"Mengapa para ulama terus saja berlomba-lomba membuat karya penjelas (syarah/syuruhat) dari sumber buku yang sama, yaitu kitab hadits Sohih Bukhori?"
Setiap pemateri yang maju kala itu tak ada yang bisa menjelaskan alasan konkret berlandaskan bukti, mengapa para ulama berbuat demikian.
Sebagai informasi, menurut kitab Syarh Al-Hadits an-Nabawi karangan Dr. Assyarif Hatim bin Arif Al-Auni, kitab-kitab penjelas Sohih Bukhori yang diketahui sampai saat ini berjumlah 15 judul karya dengan range antara tiga hingga puluhan jilid tiap judulnya.
Kitab-kitab tersebut masa pembuatannya tersebar melampaui berbagai kurun. Disebutkan bahwasanya kitab penjelas pertama muncul pada abad ke 4 hijriah sementara kitab penjelas yang paling baru, pengarangnya masih hidup hingga saat tulisan ini ditulis. (—mungkin saja beliau bisa dijumpai di Mesir sini)
Jika dibandingkan antara kitab-kitab yang dibuat di abad-abad awal hijriah dengan abad modern, kitab kontemporer akan tampak lebih jelas latar belakang pembuatannya dalam benak kami. Atas dasar jauhnya zaman, mungkin ulama di abad ini ingin menyisipkan permasalahan-permasalahan modern yang tidak dijumpai di zaman sebelumnya dalam syarah mereka.
Untuk pembuatan kitab di era yang tidak sama, mengangkat permasalahan-permasalahan yang belum dibahas pada syarah sebelumnya menjadi alasan yang cukup masuk akal bukan?
Tapi, alasan itu tidak relevan jika digunakan sebagai latar belakang pembuatan kitab-kitab pada kurun waktu yang sama dan berdekatan. Akan muncul pertanyaan baru, "Mengapa dua ulama ini membuat kitab syarah yang sama dalam satu waktu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab saat kami coba mengulik bagaimana metodologi beberapa ulama dalam menjelaskan hadits-hadits dalam Sohih Bukhori dengan mengomparasikan tiga kitab penjelas pada topik bahasan yang sama.
Pada topik bertema "halawatul iman" tampaklah bagi kami, ada metode pendekatan dan pisau bedah berbeda yang digunakan ulama dalam mengupas isi sebuah hadits.
Pada kitab pertama berjudul Syarh Sohih Bukhori karangan Ibnu Battol, setelah menyebutkan redaksi hadits beserta sanadnya, beliau langsung mendefinisikan bahasan utama isi hadits: apa yang dimaksud dengan halawatul iman (manisnya iman) kemudian memberikan riwayat lain yang mendukung dan menguatkan definisi beliau.
Kemudian pada kitab berjudul Bahjatun Nufus karangan Abi Jamroh, Sohih Bukhori dijabarkan melalui pendekatan tasawwuf. Beliau memulai penjelasannya dengan memaparkan pernyataan yang didapat dari isi hadits (matan) ketika ditinjau dari lafadz tekstualnya (dzahir hadits). Di sana, iman diklasifikasikan menjadi dua bagian, iman bil halawah, wa iman bighoiri halawah. kemudian pemaparan dilanjutkan dengan percikan pertanyaan baru. Halawah atau rasa manis yang dimaksud itu merupakan pemaknaan secara inderawi ataukah maknawi? kemudian didatangkan pendapat para ulama pada pembahasan tersebut.
Kitab terakhir yang kami bandingkan berjudul Al-Kawakib Ad-Darori karangan Al-Kirmani yang menjelaskan Sohih Bukhori dengan kecondongan pada bidang ilmu bahasa. Pada teks sanad haditsnya saja, beliau tak luput menyorot wazan penyusun sebuah nama, bagaimana pelafalan nama para perawi hadits yang benar beserta riwayat singkatnya. Adapun matan haditsnya dijelaskan kedudukan nahwu pada setiap kata baru kemudian sisi balaghohnya.
Dan begitulah, para ulama terus berlomba-lomba membuat syarah dari sumber buku yang sama karena ada pisau bedah berbeda yang digunakan pada tiap-tiap karya, sesuai dengan latar belakang keilmuan dan kecondongan beliau terhadap cabang keilmuan. Walhasil, untuk mendalami sebuah hadits saja, bisa ditelaah dengan berbagai sudut pandang ilmu.
Lalu, apakah perlu dan masih bisa mensyarah turots di era yang sudah modern ini?
Tentu saja. Selama wacana ilmu pengetahuan terus berkembang, selama itu pula karya-karya baru akan terus lahir.
Kamis, 12 Agustus 2021
Opini
Semoga Istiqomah nulis nya
BalasHapusamiiin yaa robb
BalasHapussemoga istiqomah nulisnya mba nad (2) ❤️
BalasHapus