Satpam Abbasea

Pernah nggak sih, kamu full berkegiatan di luar rumah, mencurahkan seisi pikiranmu pada sebuah kegiatan, pulang saat petang, pun harus mondar-mandir ke sana ke mari demi memenuhi tugas di hari berikutnya, tapi kamu tidak merasa capek ataupun kesal.

Semuanya terasa damai dan baik-baik saja. Iya, perasaan nyaman dan tenang yang menyusup entah dari mana. Lumrahnya di bawah tekanan dan tumpukan pekerjaan orang akan stres, tapi kamu merasa tenang, damai dan baik-baik saja.

Kamu percaya bahwa segenap jiwa-jasmanimu mampu menjalani hari esok, esoknya, lusa, lagi, lagi dan lagi. Sebuah ketentraman di mana kamu percaya bahwa jalanmu indah dan sudah pada trayeknya. Kamu merasa bahwa omongan orang bukan masalah. Dengarkan, tapi tidak begitu peduli juga. Kecuali pembicaraan dari ketulusan orang-orang yang mencintaimu, juga orang-orang yang memberi kebaikan.

Semua yang perlu dilakukan sudah ada di kepala, dan dengan penuh harap, lagi-lagi kamu yakin bahwa kamu bisa.

Belum punya banyak hal, sih. Ilmu, keterampilan, apalagi penghasilan. Kumpulan tugas, tanggung jawab, dan hal-hal luar biasa pun masih menanti pelukanmu, satu persatu. Semua masih on going, tapi nggak papa. Kamu hanya sedang berjalan pada trayekmu—yang entah di pijakan ke berapa pasti akan sampai juga.

Jalani aja, nikmati prosesnya. Kalo kata orang sih gitu.

Selasa, 09 Agustus 2022

Bagaimana rasanya dibohongi berkali-kali? Atau mungkin kau pernah ditipu, dikecewakan, tapi pelaku seakan tidak melakukan kesalahan apapun dan berlagak normal di hadapanmu.

Mungkin kau pernah mendengar sebuah ungkapan,

"Jangan membenci pelaku keburukan dan dosa, tapi bencilah perilakunya."
"Ibarat kuku yang panjang dan kotor, kau hanya perlu memotong kuku, bukan jarinya."

Tapi bagaimana caranya membenci perilaku tanpa melibatkan orangnya?Bagaimana supaya tidak membenci orang-orang seperti itu? Apakah mereka tidak berhak disalahkan atas pikiranku yang mumet dan terus berburuk sangka pada mereka? Enak saja mereka yang salah aku yang dosa.

Dipikir-pikir, kalau sudah mentok, ya apa-apa selayaknya dikembalikan pada Tuhan.

"Duh, Gusti, paringi kulo ati ingkang jembar, pinjamkan sedikit sifat Rahman Rahim Latif Afuw Ghofur.. HambaMu ini sudah mentok. Gatau lagi harus gimana. Tapi kepala sampun mumet, ati pun kebak.
Rabbana laa taj'al fi qulubinaa ghillan lilladzina Aamanuu.. "

"Duh, Gusti, HambaMu yang satu itu saya mboten remen, tapi jangan jadikan hati saya gundah karenanya, jangan jadikan perilaku saya buruk karena sentimen terhadapnya.. "

"Sesungguhnya Njenengan yang lebih mengetahui aibnya, mengetahui aib saya, dan seluruh keburukan manusia masih terus memberi rahmat, kehidupan, dan hal-hal baik kepada pelaku dosa besar. Demi hikmah yang Engkau simpan dalam realitas yang tidak kami sukai, ampuni kami, lindungi kami dari perbuatan buruk, sembrono dan tidak adil kepada sesama makhluk Mu.. "

"Sesungguhnya kami hambaMu yang sama-sama nakal.. "

Malam ini adik adik rumah meributkan jadwal piket masak yang berubah. Dari yang mulanya tiga orang anak diberi jatah dua hari, sekarang jadi tiga kali. Itu artinya setiap anak berhak akan hari piketnya masing masing.

Permasalahannya adalah, ada tambahan hari di luar hari libur mereka yaitu kamis. Secara otomatis, mereka tidak ingin kebagian piket terus menerus dalam sebulan di hari aktif deel. Jadilah mereka ribut dan bingung menentukan siapa di hari apa, dan metode giliran apa yang cocok serta adil merata.

Tiba-tiba aku sudah ikut nimbrung saja. Berbekal kertas dan spidol aku mencorat coret hari piket sesuai tanggalan bulan Juli. Dan voila! Mereka senang. Katanya, "wah beda ya kalo yang memecahkan masalah orang dewasa."
~hoho dewasaaa~

"Oh tentu, ini berkat orang dewasanya suka main sudoku," jawabku.

Wkwk aneh sih, tapi kalender bulanan jadi mirip balok sudoku, gara gara aku koplo main sudoku kalah mulu! 🤣



Jumat 02/07/2022

Ketika melihat seorang kawan yang mulai menampakkan bakat terpendamnya, maupun melihat senior-senior yang cemerlang di bidang-bidang strategis, ada perasaan bangga yang terselip di sana. Terutama pada mereka yang nasib pendidikan agamanya sepertiku, lulusan madrasah negeri bukannya pesantren.

Sekolah dan instansi pendidikan memang tidak bisa menggambarkan seratus persen kualitas muridnya. Bisa jadi jebolan sekolah yang dipandang elit kualitasnya kalah dengan seorang anak lulusan sekolah pucuk desa. Semua tergantung individunya.

Aku sadar, aku tidak bisa memutar balik waktu dan memilih untuk disekolahkan di pesantren atau sekolah yang kudambakan dahulu, meski begitu, apa yang diberi Allah saat ini tak kalah baik. Malah sangat cocok dengan yang kubutuhkan. Fokus dengan apa yang ada di depan, yang bisa dikerjakan, ya kerjakan,

hajar!


Selasa 01/03/2022