Satpam Abbasea

Malam ini adik adik rumah meributkan jadwal piket masak yang berubah. Dari yang mulanya tiga orang anak diberi jatah dua hari, sekarang jadi tiga kali. Itu artinya setiap anak berhak akan hari piketnya masing masing.

Permasalahannya adalah, ada tambahan hari di luar hari libur mereka yaitu kamis. Secara otomatis, mereka tidak ingin kebagian piket terus menerus dalam sebulan di hari aktif deel. Jadilah mereka ribut dan bingung menentukan siapa di hari apa, dan metode giliran apa yang cocok serta adil merata.

Tiba-tiba aku sudah ikut nimbrung saja. Berbekal kertas dan spidol aku mencorat coret hari piket sesuai tanggalan bulan Juli. Dan voila! Mereka senang. Katanya, "wah beda ya kalo yang memecahkan masalah orang dewasa."
~hoho dewasaaa~

"Oh tentu, ini berkat orang dewasanya suka main sudoku," jawabku.

Wkwk aneh sih, tapi kalender bulanan jadi mirip balok sudoku, gara gara aku koplo main sudoku kalah mulu! 🤣



Jumat 02/07/2022

Hari-hari berlalu sangat cepat, melihat tempo lalu update blog tanggal tujuh dan tiba-tiba hari ini kalender di hape sudah tanggal 24 saja.

Apa saja yang kulakukan dalam rentang waktu itu? Tidak. Tentu aku tidak mati. Lagi-lagi banyak hal yang terjadi tapi tak sempat tertuliskan di sini. Entah kenapa aku terlalu lelah untuk melakukan hal-hal di luar rutinitas wajib.

Lalu kenapa menulis tidak kumasukkan dalam rutinitas saja? Masalahnya adalah pengalaman dan pelajaran baru bisa di dapat setelah menjalani keseharian yang melelahkan(meskipun seru juga). Dan di saat yang lelah itu komando tubuhku hanya satu; cepat tidur (lama bangun). Jadi kegiatan tulis menulis yang mulanya masuk dalam list rutinitas jadi mudah tergelincir oleh rasa ngantuk.

Aku rasa memang sudah saatnya merombak jadwal dan menyusun ulang planning, goals dan merevisinya tiap minggu. Anak muda ga boleh loyo katanya, yok semangat!


Kamis, 24 Maret 2022

Ketika melihat seorang kawan yang mulai menampakkan bakat terpendamnya, maupun melihat senior-senior yang cemerlang di bidang-bidang strategis, ada perasaan bangga yang terselip di sana. Terutama pada mereka yang nasib pendidikan agamanya sepertiku, lulusan madrasah negeri bukannya pesantren.

Sekolah dan instansi pendidikan memang tidak bisa menggambarkan seratus persen kualitas muridnya. Bisa jadi jebolan sekolah yang dipandang elit kualitasnya kalah dengan seorang anak lulusan sekolah pucuk desa. Semua tergantung individunya.

Aku sadar, aku tidak bisa memutar balik waktu dan memilih untuk disekolahkan di pesantren atau sekolah yang kudambakan dahulu, meski begitu, apa yang diberi Allah saat ini tak kalah baik. Malah sangat cocok dengan yang kubutuhkan. Fokus dengan apa yang ada di depan, yang bisa dikerjakan, ya kerjakan,

hajar!


Selasa 01/03/2022

Banyak hal yang terjadi, dan kebanyakan yang terjadi itu terlampau sulit untuk dideskripsikan secara utuh 'rasanya'.

Yang mampu kubagikan di sini hanyalah sedikit keluh kesah serta rasa syukur yang dalam, yang tidak mungkin kusampaikan melalui caption wa maupun ig— cukup membuat malu rasanya mengetahui bahwa orang-orang (terutama yang asing dan tidak diharapkan) bisa melihat isi kepala (bahkan hatiku!) tanpa kuketahui mereka akan berpikir apa,
meski akupun bagian dari mereka :'

Betapa mood bisa sangat berpengaruh dalam keseharianku, bukan jadi soal—aku hapal betul itu. Meski begitu aku tak pernah siap secara sempurna untuk menghalau datangnya badai berupa kejadian-kejadian kecil; remeh, tidak terduga, dan menjengkelkan! Ekor badai itu menjelma gelombang besar mood buruk dan menghabiskan ruang hatiku. Kemudian hari-hari yang lalu dengan matahari yang cerah dan kejadian indah seolah-olah tidak pernah terjadi. Aku dirundung gundah dan kekesalan mendalam. Bagaimana bisa?!

Lalu yang bisa kulakukan adalah diam sejenak. Menyadari bahwa yang sudah berlalu-iya kekesalan itu-sudah terjadi, dan masa yang akan datang-terproyeksi buruk dan tidak sesuai keinginan-iya. Lalu aku bisa apa?

"Baiklah. Jangan lupa menghela napas. Lalu lakukan hal-hal yang masih bisa kau lakukan. Hei, terkadang kau terlalu takut pada masa depan yang belum bisa dijangkau (yang bisa jadi tidak seburuk prasangkamu) dan luput pada apa yang ada di depan mata; hal-hal yang masih bisa dilakukan, diusahakan,

biar segalanya terasa lebih baik, dan baik-baik saja, ya?"





Senin, 10 Januari 2022

Seringkali saya mengkerdilkan diri sendiri (tanpa disadari). Satu kali, dua kali, berkali-kali. Merasa hampa, monoton, dan stuck.

Buat apa berlelah-lelah melakukan hal-hal membosankan seperti belajar. Haruskah saya terlihat pintar dan tahu terhadap segala hal?

Kemudian saya berkata ke diri sendiri, pada waktu di mana kesadaran saya kadang kembali.

—banyak hal yang 'kau rasa tidak menarik' padahal sebenarnya menarik.

Ada beberapa waktu nyaman yang perlu kau tarik demi menjerumuskan diri sendiri pada hal-hal yang kau malas kerjakan, atau yang kau sangka berat dan di luar batas kemampuanmu. Coba lakukan itu perlahan.

Lebih lambat dari yang lain? Persetan.
Kau bisa. Coba bergerak. Sedikit saja. Sedikit.





Rabu (03/01/2022)

Ngeri ga tu, 2 jam buat sholat, selainnya full berfaedah pak, hidup njengengan





Syariat itu mudah, jangan dipersulit



Sabtu, 3 Juli 2021

Ada beberapa hal di status orang yang bikin gatel pingin nulis dan baru kesampaian hari ini. Dan yang ingin kusorot kali ini adalah masalah ibadah; terlebih sholat.

Sehari itu 24 jam. 1440 menit. Durasi normal tidurku kurang lebih 8 jam sehari. Itu berarti 480 menit. Wah. Itu berarti sepertiga hidupku dalam sehari digunakan untuk tidur. Lalu kapan ibadahnya. Katanya manusia diciptakan untuk beribadah? Okelah kita solat, tapi, untuk sekedar sholat lima waktu tanpa sunnah rawatib, duha, dan qiyamullail itu ya sudah sangat standar kan.

Coy, perhatikan deh. Orang sholat dengan tuma'ninah itu rata-rata paling banter 5 menit. Dah khusyu' banget sih menurutku 5 menit itu. Nah, 5 menit itu kalikan dengan 5 waktu, hasilnya cuma 25 menit. Waw! Bandingkan dengan 1440 menit dalam sehari, bandingkan juga dengan tidur yang 480 menit itu. 25 minutes seem soo small and phatetic! 1,7 persen aja dari keseharian yang digunakan buat sholat :')

Merasa sangat sedikit sekali ya, Bund. Dah tahu gitu kadang kan juga masih suka cepet-cepet sholat wajibnya. Mana bolong-bolong pula sholat-sholat sunnahnya (nawafil) hahah. Parah emang manusia satu ini.

Wait, tapikan ibadah ga cuma sholat aja? Ada mengaji, zakat, puasa, dan haji.

Ya bener juga tuh. Kalau kita mengerucutkan ibadah hanya pada sholat, wah. Sedikit sekali beribadah dalam sehari. Jika dibandingkan dengan tidur pun sholatku kalah jauh. Heuu.

Maka dari itu, sebagai ummat kanjeng Nabi, selayaknya kita sangat bersyukur karena setiap amalan itu tergantung pada niatnya. Segala hal yang kita lakukan, selama bukan merupakan maksiat, bisa diniatkan untuk ibadah.

Jadi, esensi Ibadah pun juga ga melulu didapat hanya dari sholat, zakat, puasa, dan haji. Lebih dari itu. Lebih luas cakupannya. Menurutku, seseorang ga harus stay sepanjang hari di masjid hanya ada agar bisa disebut ahli Ibadah. Karena semua orang, apapun profesinya punya kesempatan yang sama untuk beribadah dan mendekat pada Tuhan.

Yang jadi pelajar, ya belajar itu ibadahnya. Profesi yang lain sama aja. Guru, polisi, tukang sayur, sopir angkot, pengangkut sampah, tukang sapu di jalan, seeemuaanya, asal ga maksiat, ya itu juga diitung lagi ibadah kali (Insyaallah). Cuma memang dengan medan yang berbeda.

Makanya niatin dulu.

Pagi-pagi gitukan, bangun tidur bilang,

"Ya Allah matursuwun sudah dibangunkan pagi ini. Maafkan dosa-dosa saya yang telah lampau. Izinkan saya memperbaiki hari-hari dan masa yang sudah lewat. Berikan saya kekuatan untuk beribadah sepanjang hari ini. Saya niatkan hidup di hari ini untuk menghamba kepada-Mu."

Setelah itu bolehlah tambah doa buat orang-orang semuanya. Sholat tahajud ataupun subuh. Wush, nikmat Tuhanmu yang manalagi yang kamu dustakan.




***

Ngomong seperti ini bukan berarti yang ngomong lebih ruajin ibadah dan sudah istiqomah ya. Tapi, belajar dari mata kuliah Ushul Dakwah kemarin, untuk menyampaikan kebaikan itu ya ga nunggu kita harus jadi Saint Seiya dulu, nunggu hati bersih berkilau dari riya', ujub dan sombong—lah kesuwen.

Kasarannya, berdakwah ya berdakwah aja kali. Setiap orang pasti pernah dibisiki setan untuk merasa berbangga diri dan ingin dilihat, itu wajar. Maka ketika terlintas hal itu di dalam hati, banyak-banyak istighfar dan minta perlindungan diri, setelah itu? Skip. Biar Allah yang ngatur.
/gitu kurang lebih kata muqorror Ushul Dakwahku/

Terakhir.
Ngomong gini juga bukan berarti kita menggampangkan sholat atas ibadah yang lain. Ntar mentang-mentang segala hal bisa bernilai ibadah, sholat sengaja dimarjinalkan.  No. Malah, dengan tahu bahwa sebenarnya ga butuh banyak waktu untuk sekedar ruku' dan sujud, bisa bikin semangat kan. Bisa  menghilangkan stereotip bahwa sholat itu susah dan berat.

Oke. Sekian nge-tweet hari ini. Terimagaji.

Rabu, 9 Juni 2021

Terkadang, beban pikiran yang rumit dan benang-benang kusut di kepalaku itu ternyata hanya perlu diterjemahkan dari sudut pandang anak-anak
—dan hati yang tulus.



***

Two days ago, a teacher who teaches at second grade asked me to draw something for the students.

This evening i finished it and asked my father to scan it and post it here.

Repost from blog sebelah
—februari, 15, 2012

Jumat, 28 Mei 2021

Aku sekarang jadi tahu kenapa ruang tengah rumahku begitu dingin. Bukan karena sinar matahari pagi yang masuk kurang. Ya, itu bisa jadi salah satu sebab. Bukan juga karena jendela rumah yang selalu terbuka. Bukan. Angin musim dingin memang menggigit, tapi angin musim panas? Ah. Angin tak bisa disalahkan atas perkara ini.

Aku tahu, hawa dingin yang membuat kakiku tak henti berjinjit itu, karena ruang tengah rumahku—setelah ditinggali sekian lama, tidak pernah digunakan berkumpul bersama, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.

"Suasana rumah ini begitu tegang, Nad, sebelum kedatanganmu."

Aku nyengir kuda. Wah. Bisa-bisanya. Aku berhasil, kah? Apakah benar ini semua berkat jasaku?

Yang jelas ruang tengah sekarang jadi tempat yang nyaman, hangat dan terlihat ramah. Ia menampung kami bercengkrama sembari sarapan di jam makan siang, atau sekedar membahas hal-hal receh dan menonton sinetron di jam makan malam.

Ruang tengahku yang sekarang ramah itu, adalah pemberi kesejukan dan sandaran utama melepas lelah setelah seharian berjalan dan berpanas-panasan di luar. Kami dibuai oleh hembusan angin dari bilah-bilah kipas yang menempel vertikal di atap, sejajar di atas tubuh lelah kami yang selalu terkapar bagai pindang.

Oh, hangatnya.

Intinya aku teramat sangat bersyukur mengetahui kenyataan bahwa kegiatan mengaji dan belajar ternyata bisa dilakukan selain di kamar dan kasur.

Oh, iya. Kenapa ruang tengahku tiba-tiba hangat, yah?

Entahlah, siapa yang tahu.