F Ojo kakean tolah-toleh - Satpam Abbasea

Ojo kakean tolah-toleh






Entah kenapa tiba-tiba aku sudah terdampar di tengah-tengah masyarakat kajian yang serius (maksudku orang-orangnya sungguh-sungguh belajar) , agak aneh bin ajaib aku bisa ada di titik ini, di circle semacam ini, lebih-lebih fokus kajiannya di bidang akidah... .

Bukan itu saja yang membuatku takjub. Kukira kegiatan kerja rodi di organisasi saat maba sudah cukup menguras hari-hariku— dan aku ingin selesai dengan itu semua. Nyatanya di tingkat dua, aku malah terjebak di tujuh kegiatan. Meski sudah berusaha kulepas satu-satu, nyatanya masih tersisa lima komunitas yang kuikuti di luar kuliah; semuanya offline.

Ada perasaan dilema mendalam terutama tentang perbedaan metodologi yang digunakan di setiap komunitas. Di komunitas itu, kami dipersilakan untuk membuat asumsi sebebas-bebasnya dalam pendalaman materi (khas metodologi awal dikelas itu; skeptis untuk mencari berbagai lebih dalam). Di komunitas akidah, kami memang diarahkan kitab apa saja yang perlu dipelajari sebagai tangga menapaki kitab-kitab babon lainnya, tapi kami dituntut untuk membaca mandiri secara bebas kemudian di-crosscheck kepada senior pemahaman kami—sebagai bentuk penerapan ilmu alat yang sudah kami pelajari sebelumnya. Di komunitas lain, kami diberikan beberapa materi ilmu alat dasar dengan metode sorogan dan diskusi santai (dengan penekanan pada praktik nahwu shorof dan mantik).

Sedangkan di komunitas lain (yang masyhur tapi tidak kuikuti)—sejauh yang kutahu, mereka mempersempit definisi ilmu dan menerapkan metode yang lebih ketat terhadap proses menuntut ilmu itu sendiri. Seyogyanya ilmu di dapat dari seorang guru yang terpercaya, harus bertahap sesuai dengan mustawa(level keilmuan setiap individu), diulang terus hingga benar benar melekat dan menguasai. Jangan sampai membaca kitab tanpa pemahaman seorang guru, tentu saja tujuannya adalah menghindarkan seseorang dari kesalahpahaman dan kesesatan.

Dilema itu muncul didasari dengan pertanyaan sesimpel, "Apa metode belajar yang kujalani sudah benar? Jika belum, aku harus pilih yang mana? "

Sebuah jawaban akhirnya mulai bermunculan seusai gabut dan berdiskusi ringan dengan seorang kawan.

"Mungkin ini memang jalanmu. Nggak usah lihat ke orang lain dan merasa ragu atas keputusanmu. Story orang itu emang banyak bikin insecure-nya. "

Aku tertawa.
Satu, karena hal semacam ini bahkan sudah pernah kutulis di tulisan sebelumnya. "Peluk segala konsekuensi dari setiap pilihanmu." —aku yang nulis, aku yang lupa.

Dua, karena kawan yang biasanya hanya bisa ndagel dan berlaku aneh di depanku ini ternyata bisa diajak diskusi dan ngomong bijak juga 🤣


Sabtu, 13 Feb 2022


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar