Senin, 24 Mei 2021
Pagi itu aku baru tahu kalau ternyata seekor kucing juga bisa sama beringasnya dengan anjing yang konvoi di gang-gang rumah.
Kucing belang tiga itu lain dari yang lain. Ia berlari gesit bukan karena ada geng kucing lain yang datang bertandang mengajak duel. Bukan juga ia lari karena mengejar ikan dan tetelan daging yang dilempar orang sembarangan. Ia berlari karena di hadapannya ada bocah gendut yang berputar -putar di jalanan dan melompat. Kucing belang tiga itu begitu giat mengejar-ngejarnya dan ikut berlompatan.
Sejurus kemudian bocah itu berhasil mengamankan diri di toko rempah-rempah. Kemudian kucing itu bingung. "Ck.. ck.. ck.." sebuah decakan mengalihkan fokusnya dan dengan begitu patuh kucing itu mengekor ke sumber suara; seorang bapak-bapak yang duduk santuy di emperan jalan.
Bocah yang tadi sembunyi di toko iseng-iseng mengintip ke luar pintu. Bagai telepati, bapak itu mengangkat sebelah alisnya, memandang kucing di hadapan kakinya kemudian mengarahkan matanya ke bocah gendut itu. "Serbu!" begitu kiranya tatapan matanya memberi komando. Tanpa disuruh dua kali kucing itu melesat lagi. Memutar ulang adegan kejar-kejaran dan berlompatan.
Heran. Aku baru tahu kalau orang bisa jadi pawang kucing.
Yang kemudian mengherankan lagi adalah pelataran kampus yang begitu ramai. Aku kira hari-hari ini mahasiswa pasti lebih suka berdiam di rumah sambil sibuk berdialog dengan diktat kuliah. Nyatanya yang kujumpai di kampus adalah lautan manusia yang beralu lalang.
Di sepanjang jalanan kampus yang dipenuhi gadis-gadis mancanegara itu, bercokol pohon pete dengan bunga-bunga berwarna oranye. Yap aku serius. Bunga-bunga pete. (Ya, karena disela-sela bunga yang sibuk mekar itu ada pete-pete gosong yang menjulur. Petenya gosong karena tak ada yang berminat kuliner pete di sini). Bunga-bunga itu, bermekaran menaungi kami yang berjalan di pinggiran. Rimbun seperti kanopi.
Perlu kau ketahui, pemandangan yang bikin mata betah itu bukan hanya ada di kampusku saja. Di musim ini pohon-pohon pete di seluruh penjuru Mesir kompak berseragam hijau dan oranye.
Ah, tapi ada hal lain lagi yang lebih mencengangkan dari sekedar urusan pete yang berbunga. Kantor administrasi kampusku!
Bukan apa. Aku sih sudah cukup kuat mental melihat gadis gadis begitu berani melompatkan kaki dari bangku kampus satu ke bangku diatasnya lagi. Entah di dalam atau di luar kelas, tak terkecuali di kantor administrasi. Nampaknya itu hal yang lumrah. Tapi tetap saja, rasanya aku masih belum terbiasa dengan kebiasaan memanjat dan lompat-lompatan ini.
Di kantor administrasi, untuk bisa mengurus segala jenis pemberkasan, ada jendela setinggi 2,5 meter yang harus ditaklukkan. Apa lagi cara yang bisa dilakukan selain memanjat ke atas sana? Aku sungguh takjub dan tidak habis pikir dengan climbing skill orang-orang ini.
---
Kupikir setelah aksi panjat-panjatan di kantor administrasi tadi, aku bisa merasakan empuknya kasur dan segarnya kipas di kamar. Nyatanya entah kenapa tiba-tiba aku sudah nyempil di pusaran manusia yang berdesakan bagai antre sembako. Gadis-gadis Mesir di sekelilingku meneriakkan pesanan mereka sambil mengacung-acungkan tangan. Para pria di depan sana juga tidak kalah ribut menyahuti mereka. Rasa-rasanya jika kau mendengarnya tanpa tahu artinya, teriakan mereka hanya akan terdengar seperti umpatan.
Sebenarnya tempat macam apa yang membiarkan orang-orang berdesakan padahal kondisi masih pandemi?
Jawabannya; Maktabah Star.
Tempat fotokopian itu, selain punya fungsi cetak-mencetak dan mengggandakan kertas, di ujung semesteran, ia merangkap jadi toko serba-serbi ujian. Segala macam ringkasan materi matkul berbagai jurusan tumpah di sana. Mau tahu soal yang diujikan di tahun-tahun sebelumnya? Pergi ke Maktabah Star.
Kegentingan akan persiapan ujian dan kebutuhan yang mendesak atasnya inilah yang membawa gadis-gadis sekampus sukarela datang, bertempur satu sama lain memperebutkan tumpukan kertas di bawah terik matahari. Jadilah kami nasi campur di siang bolong.
Lima menit yang lalu, sebelum akhirnya menjadi bagian dari nasi campur multinegara itu, aku sebenarnya asyik duduk-duduk di emperan jalan. Hanya saja, aku terus-menerus menghela napas dan mengucapkan kata, "posyeng ngeliatnya." Sesungguhnya memandang manusia-manusia campur aduk dan saling berteriak di tengah hari itu memang ngga ada indah-indahnya. Siapa juga yang sudi bersusah payah seperti itu hanya demi lembaran kertas.
Hah, pertanyaan bodoh. Orang itu aku.
Demi membalas sebuah budi baik ditambah dorongan rasa 'nggak enakan' aku maju. Sebenarnya aku bukannya ngga sudi maju. Hanya malas saja. Pun pada akhirnya aku berhasil sampai di tujuan akhir kerumitan itu; meja di depan paman petugas fotokopi. Memesan soal ujian tahun lalu, menunggu lamaaa sekali, menyerahkan uang, dan pulang dengan seplastik kertas fotokopian.
Kurang lebih satu jam aku berdiri santuy dengan tatapan kosong kemudian tanpa sadar terseret arus ke depan sampai bisa berhasil mendapatkan kertas-kertas penyokong ujian.
Pesan moral yang bisa dipetik dari kejadian barusan adalah, ternyata paman petugas fotokopi yang melayani pesananku namanya Islam. Kemudian, untuk bisa sampai di depan meja fotokopian diantara banyaknya orang yang berjejalan adalah dengan gerak sabar-santuy-tapi pasti. Tidak usah terburu-buru merangsek ke gerombolan di hadapanmu, itu hanya akan membuatmu tergilas, kehilangan tenaga, dan marah-marah. Yang terakhir, jangan main hape di tengah kerumunan, atau pinggangmu bakal encok tak karuan.
Finn~
0 komentar:
Posting Komentar