F Makhluk Asing Bermata Kelabu - Satpam Abbasea

Makhluk Asing Bermata Kelabu


Bougainvillea




"Kita tak ubahnya vampir, Jum."

"Maksud Kakak?"

"Kata orang, kita keturunan penghisap darah. Sama saja. Tak ada bedanya antara kita dengan drakula, werewolf, siluman, dan makhluk jadi-jadian—" napasnya tertahan, tenggorokannya tercekat. "—kenapa orang-orang begitu mudah me.. ah, sudahlah."

"Kak.." suaraku mengecil. "Sepertinya kakak kebanyakan nonton film dan komik."

Kakak menatapku nanar kemudian tersenyum. "Suatu saat kamu akan mengerti." Senyumnya berubah getir melihat wajahku yang kian kebingungan.

***

Tingkah kakak makin hari makin tak kumengerti. Kakakku yang periang dan suka bercanda itu mendadak serius. Ia seperti kerasukan barang halus. Yang paling tak kumengerti adalah igauannya yang tidak-tidak. Ia menyebut keluarga kami vampir, drakula, dan makhluk-makhluk aneh lainnya. Dan di saat jati diri kami terbongkar, katanya, waktu itulah tamat riwayat kami.

Aku benar-benar tak mengerti.  Kami ini manusia biasa, aku, begitu pula dengan keluargaku. Kami tidak sedang tinggal di negeri dongeng atau menjadi tokoh utama sebuah komik, tidak. Hidup kami normal saja. Kami tidak makan darah seperti yang dituduhkan kakak, atau melakukan perbuatan-perbuatan jahat seperti genosida. Kami masuk ke sekolah umum, bermain bersama dengan bocah-bocah di kampung, mengompol di celana, juga merasa jatuh cinta.

Sebenarnya apa yang salah?

Oma kami orang yang baik, begitu pula Opa. Oma tidak banyak bicara. Tidak seperti nyonya-nyonya dengan tas bermerek dan tangan penuh belanjaan di depan gang sana. Nyonya-nyonya yang senyumnya dihiasi seringai. Sesekali di sela tawa mereka ada beberapa nama yang disebut dengan sifat-sifat jelek. Oma tidak seperti itu.

Jika Oma adalah orang pendiam, Opa sebaliknya. Tawa renyah dan gurauan garing Opa menghiasi sudut-sudut rumah kami. Meski ketika marah, kami tidak tahu harus pergi ke mana karena seluruh ruangan sesak terisi suara Opa. Tapi itu normal saja.

Satu-satunya perbedaan yang kutahu adalah mata kami yang berwarna kelabu. Mungkin itu karena mata Oma berwarna biru pucat sedang mata Opa hijau lumut, hasilnya, mata kami jadi keruh. Namun itu seharusnya bukan masalah. Toh, yang kami gunakan melihat sama-sama mata.

***

Bertahun-tahun setelah kakak menghilang aku jadi tahu bahwa warna mata rupanya bisa menjadi masalah. Tidak banyak orang yang bisa memerhatikan dengan baik apa warna mata setiap orang. Lebih tepatnya tak acuh. Mereka dinamakan orang-orang bebas.

Tapi tidak sedikit juga yang tanpa basa-basi membuat batas, menyeleksi dan mendikotomikan warna itu. Mereka inilah yang mengaku-ngaku paling manusiawi.

Aku juga baru tahu bahwa perjalanan hidup bisa mengubah warna mata manusia. Tapi sejauh ini, di mana bumi dipijak di situ langit di junjung. Orang-orang yang hidup dan dibesarkan di lingkungan warna mata yang sama akan tumbuh tanpa sempat berganti warna,  tanpa pernah tahu hakikat beragamnya warna itu sendiri.

Kemudian masing-masing orang dengan warna mata yang sama sibuk mencari cara menjatuhkan orang-orang dengan warna mata berbeda, atau minimal mencari-cari kejelekan dari berbagai warna yang seharusnya indah bersama. Dunia berputar begitu terus dengan konflik tanpa ujung, tanpa tahu siapa dalang dan siapa yang ditunggangi. Semua dianggap penyusup.

Sebenarnya, apakah orang-orang benar-benar tahu apa yang dirasakan satu sama lain? Bukankah selama ini mereka hanya memandang dan mengamati dari iris kepunyaan pribadi saja?

Ingin rasanya setiap orang kuberi kesempatan mencoba berbagai warna mata yang berbeda, kemudian silakan berkomentar;

apakah pelangi bakal indah jika hanya punya satu warna?

****

Selasa, 20 April 2021


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar