F Kenapa Kuliahku Santuy? - Satpam Abbasea

Kenapa Kuliahku Santuy?


Di dalam kuliah banat Al-Azhar


Pada postingan yang berjudul Balada Maba di Termin Satu, saya sempat menyebutkan bahwa kuliah di Al-Azhar itu santai. Ya, itu murni menurut pengamatan singkat saya berdasarkan perbandingan pengalaman pribadi dan teman-teman yang berkuliah di Indonesia. Dimana memang saat pandemi seperti ini kuliah offline di Al-Azhar hanya dilaksanakan dua kali seminggu. Tanpa presensi, tanpa presentasi, tanpa diskusi antar kelompok, serta bebas tugas rumah.

Tentu hal itu menjadi pertanyaan, kekhawatiran, juga keraguan bagi sebagian orang yang bakal menyangka bahwa itulah titik lemah Al-Azhar, tak terkecuali saya sendiri. Setelah sampai di sini saya sering mempertanyakan, apakah keberadaan saya di sini sudah benar? Memangnya apa perbedaannya saya kuliah di sini dan di Indonesia, sih? Perasaan saya ya gini-gini aja. Bagaimana bisa sebuah universitas yang masyhur sebagai kiblat ilmu, pencetak ulama, ternyata sangat tradisional dan tidak lebih terstruktur dari universitas-universitas di Indonesia? Mengapa saya tidak ada ghiroh belajar dan mulazamah pada para Syaikh?

Semakin ke sini saya jadi tahu. Ternyata yang salah bukanlah Al-Azhar. Tentu saja yang salah itu saya, yang masih kurang ilmu tapi sudah pandai mengeluh. Setidaknya ada dua hal yang bisa membantah kekeliruan saya dalam berpikir sebelumnya.

Pertama, bahwa belajar itu butuh kesabaran. Terutama terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ilmu itu sendiri.

Dalam dauroh yang saya ikuti, disebutkan bahwa makna dari ilmu yang masyhur digunakan para ulama adalah 'malakah' yang artinya melekat, alias menguasai sesuatu luar kepala. Jadi, dalam konteks mencari ilmu syariat (agama), seseorang belum dikatakan berilmu ketika apa yang masuk ke dalam otaknya hanya sekedar paham saja kemudian hilang, tanpa bisa menjelaskan kembali, mengulas setiap detil, dan membantah argumen yang menyerang.

Itu artinya, ketika seseorang mengatakan telah belajar dari majlis sana sini, Syaikh ini dan itu, namun ilmu-ilmu itu tidak melekat dalam otaknya, maka ia masih belum bisa dikatakan Alim. Apalagi jika ia belajar lewat YouTube, sosial media, dan buku-buku tanpa guru. Sebenarnya dia hanya sedang mengumpulkan pengetahuan berupa ma'lumat saja dalam otaknya, alias hanya sekedar tahu.

Untuk mencapai kemampuan malakah ini tentu saja tidak mudah dan butuh perjalanan panjang. Ustadz Agung baru bisa menemukan manhaj yg tepat setelah 6 taun kuliah. Syaikh Husam Romadhon bahkan pernah berniat pulang ke rumahnya setelah enam tahun menimba ilmu dengan sungguh-sungguh tapi belum menemukan jawaban, hingga akhirnya beliau mendapatkan futuh(dibukakan pikirannya oleh Allah) dan menjadi ulama. Senada dengan Syaikh Sa'duddin At-Taftazani, seorang ulama muhaqqiq yang dulunya dianggap murid terbodoh imam Adud, yang sering sekali menjadi bahan tertawaan teman-temannya ketika bertanya sesuatu, hingga beliau diberi anugerah bertemu Rasulullah dan mendapat futuh. Begitupula dengan banyak ulama lain yang perjalanan menuju ilmunya teramat panjang. Dari situlah saya sadar bahwa saya masih terlalu dini untuk mengeluh.

Kedua, Al-Azhar itu Jamiwa Jamiah.  Saya sebenarnya belum mendapatkan ma'lumat secara manhajiy mengenai konsep Jami dan Jamiah, tetapi berdasarkan apa yang disinggung ustadz Agung dalam dauroh, saya jadi punya bayangan begini.

Sebenarnya ada dua manhaj(metode) Al-Azhar dalam proses transfer ilmu. Pertama manhaj yang dipakai dalam perkuliahan (konteks Jami'ah) dan manhaj yang digunakan di masjid, ruwaq, dan madyafah (konteks Jami').

Manhaj yang digunakan dalam kuliah inilah yang baru saya rasakan. Sehingga saya terburu-buru menilai bahwa kuliah di Al-Azhar tradisional dan terasa kurang mendalam.



Muqorror Qasas Al-Qur'an





Padahal, bentuk pembelajaran tradisional dimana guru menjelaskan dan murid menyimak bisa menciptakan tali yang membangun ikatan keilmuan antara guru dan murid. Hal baik tersebut baru sangat terasa ketika semua pembelajaran diganti daring dan beberapa murid mengeluh tidak mendapat apa-apa tanpa bertatap muka dengan gurunya.

Sementara untuk urusan kurang mendalamnya ilmu, yang bermasalah dan perlu dibenahi terlebih dahulu adalah kesiapan saya dalam belajar. Ketika saya sebelumnya telah membaca materi yang akan diajarkan, mencari terjemah dari kata-kata yang sulit, memahami kalimat secara utuh, memunculkan pertanyaan-pertanyaan dari setiap tema, kemudian bisa menyampaikan kembali apa yang saya pelajari, di situ saya paham, bahwa kitab sekecil dan setipis muqorror (diktat kuliah) saja butuh effort yang besar untuk dipahami dan dikaji—yang tentu saja tidak cukup ketika mengandalkan penjelasan duktur di kuliah.

Saya akhirnya tahu apa yang salah. Kemandirian saya dalam belajar nol. Saya masih menggantungkan orang lain dan terus ingin dipapah. Sementara teman-teman lain yang telah merdeka dari ketergantungan bisa belajar mandiri dengan bebas dan terus berkembang.

Kembali lagi ke manhaj pembelajaran di Al-Azhar. Jika manhaj yang digunakan di kuliah terlihat begitu singkat dan ringkas, berbeda halnya dengan manhaj yang diterapkan di luar perkuliahan.

Ada begitu banyak tempat belajar di sini, lengkap dengan para ulama yang ilmunya luas dan mendalam. Ketika seseorang benar-benar serius ingin menempuh hidup sebagai talibul ilmi, ada manhaj panjang dan lama yang perlu ia jejaki agar bisa menjadi seorang Alim yang ilmunya 'malakah'.

Untuk mempelajari ilmu maqosid(tujuan/puncak) perlu ilmu wasail(perantara) sebagai alat. Dimana ada banyak sekali ilmu alat—yang untuk belajar satu disiplin ilmu darinya saja butuh bertahun-tahun, yang tentunya harus dilalui dengan guru yang baik. Itu belum ilmu puncaknya. Jadi, ada berbagai macam hal dan syarat dalam 'belajar' yang saking banyaknya saya sampai lupa dan tak bisa menyebutkan satu persatu.

Hal-hal tersebut sukses meluluhlantakkan asumsi saya yang berpikir bahwa Al-Azhar itu terlalu santai dan tidak terstruktur metode pembelajarannya.

Memang kalau seseorang belum tahu sesuatu, bagaimana mau memahami.

Kalau belum kenal Al-Azhar dan Masyayikh-nya bagaimana mau cinta dan senang?

Alhamdulillah saya sangat bersyukur dan sungguh tidak menyesal bisa kuliah di sini.


كما قوله تعالى:


قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا

(Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku").

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا

("Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?")

*Perkataan Nabi Khidir kepada nabi Musa yang diabadikan di surat Al-Kahfi ayat 67-68

Nb: tulisan ini dibuat setelah mendapat insight baru dari Seminar Peta Keilmuan Islam dan Manhaj Belajar bersama ust. Agung Saputro Lc, Dipl (02-03 April 2021)

*****


Senin, 5 April 2021

CONVERSATION

1 komentar: