Senin, 27 Juli 2020
Pagi itu aku berangkat ke kantor imigrasi demi memenuhi panggilan pengurusan perpanjangan visa. Yah, sebenarnya aku asal saja menyebutnya kantor imigrasi, yang pasti, tulisan bahasa Arabnya itu (جوازات) dan jika dilantunkan dengan logat orang Mesir, maka bacanya jadi (Gawazat) — setiap huruf ج dibaca g.
Turun dari taksi, rasanya ingin cepat-cepat duduk manis menunggu antrean sambil mengecek kelengkapan administrasi. Pasalnya saat itu sudah jam 09.30 dan jam anjuran hadirnya adalah dari jam 08.00 sampai jam 10.00. Jangan-jangan namaku sudah dipanggil oleh petugas. Aduh, kenapa tadi sebelum berangkat keenakan masak nasi goreng ya!
Pintu masuk yang jalannya sangat sempit itu jadi makin sempit ketika orang-orang berdesakan ingin masuk bersamaan. Di sebelah kiriku seorang mahasiswa Nigeria nampak terburu-buru ingin segera masuk. Dia memohon izin untuk lewat kepada gadis kecil yang entah dari mana datangnya bisa ada di gerbang Gawazat.
Merasa dimintai izin dan sadar diri bahwa ia menghalangi jalan masuk, gadis kecil itu menepi sambil mempersilakan kami masuk. Dengan takzim ia berkata, (..تفضلوا) "Silakan kakak-kakak, silakan lewat.." mungkin begitu jika dibahasakan. Aku salut dengan gadis itu.
Baru saja kakiku hendak melangkah. Eits, tiba-tiba si gadis kecil dengan baju lusuh itu menengadahkan tangannya padaku. (...أديني جنيه )
"Minta uangnya, Kak. Recehan aja gapapa," katanya.
Lah, bocah ini. Katanya tadi kita disuruh lewat. Kok pake uang masuk, nih.
(أنا مافيش جنيه)
"Aku ga ada uang kecil, dek."
Dompet aja ngga kebawa, batinku.
Setelah tak tampak dariku tanda-tanda mengeluarkan uang dari dompet, ia berlalu dan aku bisa masuk. Mahasiswa lain sudah bertengger di pinggiran pagar
Setelah ditelusuri, ternyata pemanggilan nama baru saja dimulai. Mungkin di dalam kantor baru ada 4-5 orang yang masuk. Mengetahui hal itu, kami—aku dan teman serumah—akhirnya bisa bernapas lega.
Tapi ternyata tidak.
Gadis kecil itu kembali menghampiri kami yang sedang duduk berderet di pinggiran pagar. Kali ini ia membawa sebuah kertas bekas dan memulai aksinya dari deretan di ujung kanan. Ia berjalan menyamping sambil setengah jongkok dan sedikit-sedikit berhenti untuk menatap orang-orang lalu menengadahkan tangan.
Setelah menerima penolakan bertubi-tubi dari orang-orang di sebelahku, akhirnya ia sampai di depan mukaku sambil memelas.
"Minta uang, Kak.."
Bukannya tak mau memberi, masalahnya aku tak ada uang kecil selain ongkos untuk pulang. Kuperhatikan wajahnya lamat-lamat. Tirus dan penuh goresan hitam cemong sana-sini. Ia seperti habis dicelup di tungku penuh abu seharian. Bajunya juga begitu, penuh abu. Rambut hitam sebahunya diikat tidak keruan. Mirip sarang burung yang kutemukan di pemanas bulan lalu. Tapi alisnya lucu. Tebal dan bergerombol di ujung. Kutaksir usianya sekitar empat atau lima tahun.
Agar tidak kecewa karena kutolak, rencananya akan kuajak ia berbicara. Lumayanlah, sambil melihat sejauh mana aku bisa bicara bahasa Ammiyah.
Awalnya aku jujur bahwa tidak punya uang kecil. Tapi kali ini ia memaksa dan terus mendesakku agar memberinya uang. Kubalas ia dengan menjulurkan ke dua tanganku. "Nih, kosong dek."
Lalu kukeluarkan jurusku.
( اسمِك أيه؟ )
"Namamu siapa?"
Tak kusangka ditanya begitu saja wajahnya berubah jadi sumringah.
(اسمي حني..)
"Namaku Hani."
Kemudian hening sesaat. Aku tersenyum kecut. Aku kehabisan pertanyaan. Kutanya teman di samping. "Waduh, mau tanya apa lagi nih?" Temanku hanya menggeleng.
Tiba-tiba gadis itu, yang duduk bersila di jalan sejajar dengan kakiku, menunjuk-nunjuk sandal gunung yang kupakai lalu berseru, "Syibsyib!"
Kupingku yang kurang peka ini mengira ia sedang menyebut salah satu merek keripik kentang yang masyhur di kalangan masisir itu. Hahah. Setelah diberi tahu oleh teman, baru aku sadar, ternyata ia mencoba memberitahuku bahwa sandal bahasa Arabnya adalah (شِبشِب).
Jemarinya menyentuh sandal gunungku, kemudian berpindah ke sandal kecil miliknya, lalu menunjuk sandal gunung yang dipakai para mahasiswa di sebelah sana. Aku tertawa. Ah, gadis kecil ini lucu.
Kemudian pembicaraan pendek-pendek mengalir begitu saja. Kebanyakan adalah kalimat (ذه اسمه أيه؟)—ini namanya apa— yang kuulang-ulang.
Dengan modal begitu aku bisa menunjuk semua benda di sekitar sambil mendengarkan bahasa Ammiyah-nya dari gadis kecil itu. Dan ia kegirangan sekali diperlakukan bagai narasumber sebuah acara penting. Mulutnya tak berhenti mengoceh meskipun aku bilang tidak paham apa yang ia bicarakan.
Sayangnya pembicaraan seru kami terputus karena namaku dipanggil dan aku harus segera masuk ke dalam kantor.
Saat keluar dari kantor dan segala urusan selesai tak kusangka gadis itu masih mencariku dan menyuruhku duduk lagi untuk bercengkerama. Ia bahkan berusaha mem-booking tempat duduk untuk kami meski harus berurusan dengan mulut pedas orang-orang.
Sungguh gadis kecil yang lucu dan tak tahu malu!
Terus pulangnya gak kamu kasih apa2?
BalasHapusAnaknya gak marah?