F bagaimana menyikapi tendensi miring terhadap sekte yang terpinggirkan? - Satpam Abbasea

bagaimana menyikapi tendensi miring terhadap sekte yang terpinggirkan?

Aku teringat tentang cerita seorang kawan yang baru saja lulus sarjana dari Azhar kemudian melanjutkan pasca sarjana di salah satu UIN yang cukup terkemuka. Diceritakan bahwa ia mencoba membenarkan penjelasan terkait perkara 'istiwa' yang dimaknai salah oleh dosennya. Bukan apa, tema ini bagi kami terlampau sering dibahas (di dalam maupun di luar diktat kuliah) dan sudah menjadi paham paten bahwa kalangan mutakallimin Ahlu as-Sunnah (Asyari) menyatakan bahwa Tuhan tidak bertempat, maupun beruang, sehingga 'istiwa' tidak bisa dimaknai merujuk pada tempat atau arah tertentu. 

Mungkin karena tidak terima, dosen tersebut menuduh kawanku ini pengikut Mu'tazilah. Wah, betapa lucunya. Ini seperti menggunakan frasa anjing yang tidak salah apa-apa (dan tidak ada kaitannya dengan pembahasan) sebagai umpatan. 

Ini bukan dimaksudkan kepada pembenaran atas segala ideologi Mu'tazilah, akan tetapi yang mengganjal adalah mengapa golongan pinggiran (yang kalah dalam kontestasi memegang arus utama) selalu jadi kambing hitam dan selalu diberi stigma negatif? 

Mari ambil sampel pada Mu'tazilah. Pada studi pengantar kitab Maqalat Islamiyyin, Yasin as-Salimi menyebutkan, salah satu alasan yang membelenggu peneliti kontemporer bersikap objektif terhadap khazanah turats adalah 'kesalahan tahkik'. Terkadang seorang muhaqqiq salah memaknai teks asli dan menyebabkan kerancuan pemahaman bagi pembacanya. Dalam hal ini, Mu'tazilah jadi salah satu korban. 
Kerap kali dituliskan oleh para pengarang kitab sektarian (milal wa nihal ataupun firaq) bahwa Mu'tazilah mengingakar azab kubur' (menafikan adanya azab kubur). Tentu pandangan ini dianggap menyelisihi pemahaman mayoritas terhadap nas dan bikin geleng-geleng kepala. 

Tapi setelah ditelusuri pada sekian banyak literatur mereka yang tidak sampai kepada kita, ditemukan bahwa ternyata Mu'tazilah sama sekali tidak pernah menyatakan hal yang demikian. Pengingkaran terhadap azab kubur hanya diucapkan oleh satu orang saja, yaitu Dharar bin 'Amru. 

Ini dibuktikan dengan pernyataan para pembesar Mu'tazilah seperti Qadhi Abdu al-Jabbar, Abu al-Hasan al-Khayyath, Bisyr bin al-Mu'tamir, serta Abu Sa'id al-Jasyimi al-Baihaqi yang menafikan adanya pengingkaran terhadap azab kubur dalam tubuh Mu'tazilah, bahkan menafikan Dharar bin 'Amru sebagai golongan mereka. 

Lalu bagaimana bisa perkataan seseorang yang bahkan tidak diakui oleh golongannya dijadikan landasan ideologi? 
Padahal jika ditelusuri lebih jauh, Mu'tazilah (yang sering diframing negatif ini) bukannya tidak punya andil dalam perkembangan khazanah keilmuan islam. 

Dalam keilmuan al-Qur'an, selain Imam az-Zamakhsyari yang terkenal dengan tafsirnya, ada Abu Utsman al-Jahidz (w. 256 H), teolog Mu'tazilah yang pertama kali melontarkan pembahasan 'sisi kemukjizatan pada susunan al-Quran'. Inovasi ini kemudian diteruskan oleh Abu Abdillah al-Wasithi (w. 306 H) dengan dituliskannya sebuah kitab berjudul "I'jaz al-Quran fi Nadzmihi wa Ta'lifihi"—kitab pertama yang membahas tema mukjizat pada susunan Quran secara mandiri. Tokoh-tokoh tersebut merupakan penganut akidah Mu'tazilah. 

Karya al-Wasithi ini kemudian mengilhami karya Abdul Qadir al-Jurjani—seorang ahli tata bahasa Arab berakidah Asy'ari, Syarah al-Mu'tadhid. Karya-karya tersebut disebutkan dalam diktat kuliah bahkan dipelajari sebagai mata kuliah utama di Azhar. (Tafsir Zamakhsyari yang telah melalui proses verifikasi dijadikan diktat mahasiswa tingkat tiga jurusan tafsir). Dan masih banyak lagi sumbangsih yang tidak bisa disebutkan satu-satu di sini. 

Ini membuktikan bahwa kelompok yang terpinggirkan juga berhak diberikan kacamata objektif dan tidak bisa serta merta dicap buruk, apalagi dijadikan kambing hitam. 


Sumber:
1. Fenomena
2. Yāsīn as-Sālimī, Madkhal ila Kitab: Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāfi al-Mushallīn, Dar Jasur li ad-Dirasat wa al-Abhas al-Ilmiyyah wa at-Tadrib, Cordova, cet. I, 2017, hal. 6—8.
3. Ahmad al-Amīr Muhammad Jāhīn, I'jāz al-Qur'ān al-Karīm, Maktabah Iman, Kairo, hal. 32



CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar