F Pengantar ontologi dalam kerangka filsafat umum/tematik - Satpam Abbasea

Pengantar ontologi dalam kerangka filsafat umum/tematik

Seri filsafat umum


Hari ini adalah kajian pertamaku membahas filsafat secara tematik. Biasanya, aku memelajari tema- tema besar filsafat melalui tokoh-tokoh pencetusnya secara spesifik, untuk kemudian merunutkan pemikiran tersebut dari akar hingga pengembangan secara diakronis (historis). Tingkat kesulitan belajar filsafat secara diakronis cenderung lebih mudah, utamanya bagi pemula. Pembelajar akan disuguhkan akar pemantik dan dasar-dasar terlebih dahulu, kemudian bertahap menjajaki pengembangan di masa atau pada tokoh berikutnya. Dengan cara ini pembelajar akan mendapat pemahaman yang lebih kokoh dan tidak terheran-heran dengan produk pemikiran yang macam-macam. Segala jenis pengembangan mulai dari kritik, pengurangan, penambahan, integrasi, pemisahan, revisi, konstruksi dan dekonstruksi ide yang berkembang di kemudian hari selalu bisa ditarik dan dikomparasikan dengan pemikiran sebelumnya. Pembelajar juga diajak untuk menganalisa latar belakang setiap filsuf, baik internal maupun eksternal, yang mungkin saja berguna untuk memahami bagaimana buah pikirannya terbentuk. Intinya ada banyak hal yang cukup memudahkan pembelajar filsafat pada metode diakronis.

Berkebalikan dengan itu, metode tematik dalam pembelajaran filsafat punya tingkat kesulitan yang cukup menantang. Pemikiran para filsuf dari berbagai periode diabstraksikan dan digolongkan pada tema-tema universal dengan menanggalkan keterikatannya pada subjek pemikiran yang parsial. Hasilnya adalah teori yang bulat dan transendental, atau malah sangat abstrak (dalam artian tidak mengambil bentuk-bentuk konkret material). Penggunaan diksi dalam filsafat tematik pun dipilih sedemikian rupa, sehingga makna yang terbentuk tidak mudah dismiplifikasi dan dianggap dangkal (meski kerap kali penggunaan diksi yang berupa-rupa itu menunjuk pada sesuatu yang sama, atau mentok).

Sebut saja ontologi yang dibahas kali ini.

Dalam bahasa yang mudah, bisa dikatakan bahwa Metafisika adalah ruh dari filsafat. Metafisika tidak puas dengan hal-hal fisik dan mau melampaui itu. Metafisika ingin mengatasi realitas dan mencari kedalaman yang tidak instan. Keberadaan segala sesuatu yang dianggap hal biasa dan tidak peru dibahas, oleh metafisika tidak hendak dibiarkan begitu saja, melainkan untuk dipertanyakan dan dihayati lebih lanjut. Mengapa demikian? Mengutip dari kuliah Prof. Bambang Sugiharto, berfilsafat (yang dalam hal ini berarti juga sekaligus bermetafisika) merupakan kepanjangan dari nalar berpikir khas anak-anak yang kerap kali bertanya ini-itu, sejalan dengan kemampuan otaknya yang terus berkembang. Jadi sah-sah saja mengerjakan filsafat meski ia seringkali tidak memberikan sumbangsih praktikal dan instan, berbeda dengan keilmuan lain yang masih cukup menjanjikan. 

Ada kelakar yang sering beredar di antara kami, "Kalau sedang pusing dan banyak beban hidup sebaiknya jangan belajar filsafat, nanti makin berat dan pusing!" atau selorohan semisal, "Buat apa belajar filsafat, mending ternak lele, lebih menghasilkan!' Toh demikian suramnya wajah filsafat di Indonesia, peminatnya terus ada. Mungkin alasannya bisa sekadar menuntaskan gairah keingintahuan khas anak-anak, khas manusia. Apa salahnya? 

Kembali ke pembahasan, jika metafisika merupakan ruh filsafat, lalu apa kabar dengan ontologi?

Beberapa filsuf memang menyamakan penyebutan antara metafisika dan ontologi, tapi penggambaran hubungan Metafisika-Ontologi yang cukup jelas ada pada apa yang dikemukakan oleh Cristian Wolf, dengan pemahaman bahwa metafisika adalah bentuk penghayatan paling mendasar dan melampaui yang fisik. Namun ia teramat luas dan bisa diaplikasikan pada banyak hal baik secara terbatas maupun tak terbatas. Bentuk metafisika yang paling luas dan menyeluruh (tak terbatas) adalah Ontologi.

Ontologi masuk dalam kategori Metafisika Generalis karena ia menyelidikiyang ada (pengada) sejauh ia ada (mengada). Pengada bisa diandaikan sebagai segala sesuatu yang ada dan identitas utamanya adalah mengada. Sedangkan bentuk metafisika yang dalam pengaplikasiaannya bersekat (yang terbatas) masuk dalam kategori Metafisika Spesialis, kategori ini mencakup Antropologi, Kosmologi dan Teologi.

Dalam kaitannya sebagai bentuk penghayatan dan penyelidikan atas berbagai keberadaan, Ontologi mengalami sandungan besar berupa perdebatan antara monisme (keutuhan dan ketunggalan yang ada) dengan pluralisme (kejamakan dan keanekaragaman yang ada). Perdebatan ini berlangsung sejak era filsafat Alam di Yunani Kuno hingga sekarang. Filsuf Atomis-Demokritos dan Leukippos, demikian juga Heraklitos melihat kejamakan yang tidak bisa teratasi pada alam realitas dan oleh karenanya mereka condong pada Pluralisme. Sedangkan filsuf lain seperti Parmenides melihat bahwa segala hal yang ada dalam realitas semuanya sama dalam hal mengada, tidak ada yang berbeda dalam identitas utamanya (mengada) dan oleh karenanya realitas itu satu dan utuh. Dalam hal ini ia condong pada Monisme.

Sintesis (upaya mengatasi) dua ekstrem besar ini telah coba digagas oleh Plato dengan gagasan idelismenya. Dunia ide yang satu dan utuh merupakan hakikat dari yang ada sedangkan keberagaman yang tampak pada dunia realitas inderawi hanyalah modus (cara-cara yang berlainan) dalam mengada. Aristoteles tidak setuju dengan Plato yang menampik realitas inderawi sebagai hakikat yang ada, maka ia mengusung sintesis lain dengan mengajukan konsep hylomorphisme, sebuah asas yang bisa disinkronkan pada benda-benda materil pada realitas inderawi. Bahwa kenyataan mendasar dari keberagaman adalah asas bahwa semua hal (dalam tataran keberadaannya) mengerucut pada forma dan bentuk, aktus dan potensi.

Kiranya itulah yang menyebabkan Anton Bekker dalam bukunya Ontologi Metafisika Umum membuat rumusan bahwa Sifat Universal yang ada adalah 'mengada' sedangkan Sifat Transendentalnya adalah 'otonomi dalam korelasi".

Rumus

Mengada + Pengada= Yang ada secara riil, utuh, tapi masih bersifat general.

Mengada + Pengada + Modus mengada= Yang ada secara konkrit, bertentu dan otonom.

Ada banyak hal yang perlu digali lebih dalam, untuk itu ada baiknya pembelajar filsafat merujuk pada sumber-sumber yang telah disebutkan.

(00:28) Senin, 23 oktober 2023

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar