Seri Filsafat Islam
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan para filsuf mulai dari Al Kindi, Ibnu Rawandi, Abu Bakar Ar-Razi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan As-Safa, Yahya bin Adi, Ibn Maskawaih, dan Abu Hayyan At Tauhidi, kini eranya kami masuk pada bab baru, yaitu pemikiran Mutakallimin (Teolog Muslim). Ini momen di mana kami memberikan mereka porsi penjelasan yang lebih dari biasanya. Bukan apa, singgungan antara filsafat beserta segala jenis pemikiran turunannya sebenarnya sudah mewarnai khazanah keislaman, bahkan sejak abad awal munculnya dinasti Umayyah. Dialog antara mutakallimin sebagai pemegang panji teks kitab suci—rasionalis dengan filsuf muslim yang lebih condong ke pemikiran Barat dan terkesan lebih berani, juga seringkali disinggung. Namun biasanya yang terjadi selama ini dalam kajian, keterpengaruhan dan interaksi itu bukan jadi arus utama pembahasan, tapi hanya wacana pembanding saja.
Sebelum masuk ke pembahasan, aku ingin mengungkapkan alasan ketertarikanku memulai tulisan ini. Teks-teks ini kumaksudkan sebagai cuilan catatan atas apa yang sudah kami (aku dan utamanya kawan seperjuangan di kajian) pelajari, upaya membaca, memahami, abstraksi, dan sistematisasi banyak topik bahasan yang jujur saja tidak mudah. Selama ini aku selalu tidak percaya diri untuk memulai menulis, karena di tahun-tahun awal kedatangan lemari pikiranku benar-benar kosong, tidak ada hal yang cukup menarik untuk diracik dan dihidangkan di sini. Tapi akhirnya hari ini, beberapa bulan menjelang 2024, sebelum nanti akhirnya genap empat tahun menjajaki lika-liku hidup di Mesir, akhirnya aku punya segenggam keberanian dan kesediaan untuk menulis. Beberapa bahan ide yang selama ini tidak sadar sudah kukumpulkan, sepertinya bisa dituangkan jadi sebuah santapan wacana yang cukup menggairahkan, setidaknya untuk diriku sendiri.
Kekhawatiran yang kerap kali hinggap ada dua. Pertama, tulisan ini dipandang oleh orang yang lebih tahu, sehingga menimbulkan perasaan inferior, sia-sia dan pengulangan yang tidak perlu. Hal kedua adalah dipandang oleh orang yang tidak lebih tahu daripada aku, bisa saja ia yang merasa inferior dan sia-sia jika tulisan ini tiba-tiba saja mampir di hadapannya. Makanya di sini adalah tempat paling aman untuk menuliskan sesuatu, semacam track record yang sepi dari atensi tapi cukup memuaskan untuk diriku sendiri.
Yang akan ditulis di sini bukanlah karya ilmiah setinggi langit yang sangat kaku. Ini adalah hasil tangkapanku akan ide dan ikhtisar hari ini. Mungkin saja narasi di sini ditulis dengan mengandalkan ingatan dan sepotong pemahaman tanpa membuka buku dan catatan, nun tanpa rujukan ketat. Beberapa hal mungkin akan terasa parsial dan bercelah. Tak mengapa. Aku hanya ingin menulis tanpa harus menjadi sesuatu, tanpa dituntut sesuatu. Tapi apakah dengan corak yang demikian kemudian aku tidak berhak untuk menulis? Sah-sah saja. Kurasa, untuk saat ini, justru pemahaman dan ketertarikanku yang parsial itu yang jadi ciri khas. Ini luapan pemikiran yang kupinjam dari otakku sendiri, bukan meminjam milik orang lain lewat mesin pencari. Ini upaya menerjemahkan keidupan dan ilmu pengetahuan dengan bahasaku. Iya, harusnya sesimpel itu.
Baiklah, jadi tema kajian hari ini adalah Dogma dan Filsafat, membaca titik-titik singgungan antara Filsafat Islam (Al kindi, Al farabi, Ibnu Sina) dan Ilmu Kalam yang diwakili oleh pemikiran Mu'tazilah secara umum serta beberapa pembesar Asy'arian seperti Imam Asy'ari, Baqillani dan Al Baghdadi. Fokus materi yang kusampaikan adalah analisa tipis mengenai pemikiran Atomisme Yunani yang diadopsi oleh mayoritas Asy'arian.
Pertanyaan mendasamya adalah, bagaimana sebenarnya Asy'arian (utamanya Imam Baqillani) memandang Atomisme? Apakah sama dengan pandangan atomisme di era Yunani? Di mana letak singgungannya? Sebenarnya mengapa mazhab Atomisme yang dipilih dan bukannya Hylomorphisme atau Idealisme dan lain-lainnya? Apa implikasi pandangan ini pada penerapannya di konsep-konsep teologis?
Begitu banyak pertanyaan yang butuh dijawab. Sayangnya aku tidak tahu harus memulai dari mana. Sebuah spoiler dari seniorku membuatku agak pupus harapan. Katanya, pandangan Atomisme ini, kendati dianut oleh sebagian besar Asy'arian, namun Imam Asy'ari sendiri tidak pernah secara eksplisit menyebut bahwa ia memergunakan Atomisme sebagai landasan beberapa konsep teologisnya. Alasannya agak klasik, karena di era bertolaknya Imam Asy'ari dari mazhab Mu'tazilah dan mendekatnya beliau ke Ahlul Hadits, ungkapan eksplisit bahwa beliau mengambil mazhab filsafat tertentu akan menjadi keputusan fatal yang bisa disalahpahami. Maka dari itu, jejak pemikiran pertama yang bisa dilacak dari masuknya paham Atomisme ke tubuh Asy'arian harusnya berada di tangan Imam Baqillani, karena beliau merupakan poros pertama peletak dasar epistemologi Imam Asy'ari.
Minimnya waktu yang kupergunakan untuk membaca karya asli Imam Baqillani, membuat pencarian ibarot (frasa, bukti tertulis) tentang pemelukan paham Atomisme di tubuh Asy'arian belum ditemukan. Namun, dari kitab-kitab kontemporer yang beredar seperti Madlulat Al Maqulat karangan Syekh Madhi Ar Rakhawi, juga pada Tarikh Falsafah Islamiyyah karangan Majid Fakhri, disebutkan secara global bahwa Atomisme diambil sebagai anasir dasar bukannya tanpa alasan. Meski pada mulanya Atomisme yang berkembang di tangan Demokritos bernuansa non ilahiah (entitas tersusun begitu saja dari partikel-partikel yang bergerak aksidental tanpa perlu campur tangan Tuhan), begitu sampai di khazanah Asy'arian, konsep partikel terkecil penyusun entitas ini berlaku sebaliknya. Tidak mungkin ketersusunan jagat raya yang begitu kompleks dan sistematis ini berlaku karena tabrakan yang sifatnya tidak sengaja. Pembentukan entitas, bahkan pergerakan sekecil apapun memerlukan illat (sebab pembentuk) dan disitulah peranan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar