F kemampuan otomatis - Satpam Abbasea

kemampuan otomatis

Lagi-lagi akumulasi beruntun yang tidak bisa kukendalikan. Aku terancam gagal, tersebab hari-hari yang lalu, pun hari ini target tak juga sampai. 




Aku hanya bisa memandang kosong dari balik jendela angkutan umum menuju distrik 10, mececap kedisiplinanku yang kacau, nasib nasib.

Tapi toh memang seluruh manusia ingin hal-hal baik, selalu mendambakan itu, makanya ketika hal baik yang sudah dicanangkan gagal, selalu banyak 'seandainya' yang tertinggal pada waktu yang tak lagi berulang, juga implikasi buruk masa depan yang nyatanya masih spekulatif—nun tetap saja dipikir terus. 

Si A, si B, semuanya pemikir ulung di kelas, begitupula mereka amat mahir memikirkan segala hal hingga kulihat berpikir mendalam sudah jadi kesadaran otomatis. Apa-apa dipikir. Aku tidak tahu apakah ini penyakit yang memang sudah masanya menjangkiti orang dewasa, atau karena orang-orang seperti kami kelewat filsuf. Apa-apa dipikir. 

Seandainya otak punya tombol on off. 

Tapi menurut sebuah adagium yang pernah kudengar, orang yang benar-benar cerdik adalah ia yang mampu meninggalkan apa apa yang tidak memberinya kemanfaatan. Terdengar pragmatis memang. 

Tapi berfilsafat benar-benar tidak cocok jadi penyelesaian semua masalah. Makin pusing orang dibuatnya.

Sejauh itu tidak berguna untuk dipikirkan, tak usah dipikir, entah memikirkan masa yang sudah sudah atau yang belum belum. Cari saja hal-hal baik di luar berpikir yang gak guna. Lebih menyenangkan untuk rakyat jiwa raga. 

Sekarang tugasnya hanya mencari satu. 

Tombol on off-nya di mana? 

CONVERSATION

1 komentar:

  1. Makanya butuh dan perlu melatih jeda...coba ikuti IG Adi Prayuda ttg jeda

    BalasHapus