Sulit untuk mengakui bahwa apa yang dikatakan seniorku ada benarnya. Alasan mengapa ia memberiku sebuah amanat besar, mengepalai banyak kelompok diskusi yang beragam, yang tiap lininya belum mampu aku jangkau. Tidak lain agar aku mampu berkembang lebih jauh dan pesat dari sekadar jadi anggota.
Jadi anggota itu less awareness about their progress karena ia lebih banyak menerima. Datang kerjakan pulang. Mereka tidak dibebani tanggungjawab terhadap administrasi, evaluasi, pengembangan, dan konstruksi sebuah lembaga. Berbeda dengan menjadi kepala, semua hal dalam lembaga perlu dapat sentuhannya, perlu buah pikirnya.
Bagaimana jika seorang kepala belum mampu dan tidak siap untuk jabatan tersebut?
Sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar siap. Kesempatan kebanyakan datang saat orang-orang tengah preparing, bukan full prepared.
Seniorku menyebutkan beberapa generasi di atasku, yang mengeluhkan hal serupa ketika diberi amanat menjadi kepala diskusi, sama. Belum siap, tapi mereka bertahan dalam persiapan yang tidak ada ujungnya dan akhirnya lolos. Punya kepercayaan diri, keingintahuan yang besar dan kemandirian belajar. Goals besar yang selalu terngiang di telingaku.
Dan di sinilah aku.
Bergelut dengan masa transisi yang sungguh luar biasa. Stress, tidak percaya diri, khawatir berlebih, tidak berdaya, hingga kehilangan minat terhadap apapun. Aku kehilangan banyak hal yang sudah kupelajari, bagai amnesia.
Kurang lebih setengah tahun sejak aku dipersiapkan untuk ada di posisi ini, baru kali ini aku merasa kembali berminat akan banyak hal. Kembali merasa mampu untuk menyongsong hal-hal baik dan pahit. Pasti ada pahit. Amat pasti.
Tapi aku memutuskan untuk memaafkan diri sendiri—terserah orang bilang afirmasi dan pembelaan diri hanya akan membuat orang jadi malas atau apapun—yang jelas aku hanya ingin maju.
Aku mencari banyak hal yang bisa kulakukan, mengais-ngais kembali harga diriku yang tercecer; bakat-bakat dan hal-hal yang dulu kupunya tapi lupa, juga mengusahakan banyak hal baru.
Aku orang yang mudah bosan dan sering terdistraksi, mudah takjub, dan tidak bisa langsung pintar tanpa persiapan. Jadi aku menambal semua kebutuhan itu, memusatkan energiku untuk fokus pada hal-hal yang memang layak untuk diberi perhatian, dan tidak memusingkan banyak hal.
Aku menemukan sebuah teknik yang cukup efektif menjaga semangatku belajar (dalam artian yang lebih luas: belajar apapun) yaitu 'pairing—developing'.
Aku membuka seluas-luasnya variasi objek yang ingin kupelajari tanpa membuat batas waktu dan sekat pelajaran, tapi tetap berkomitmen dengan tanggungjawabku.
Contoh:
Aku suka membaca buku-buku berbahasa Indonesia, mendengar youtube self improvement. Kemarin, hal-hal itu kuanggap sebagai hambatan atas tugasku di sini, seorang mahasiswa Azhar harusnya berkutat pada turots dan bahasa Arab, begitu kataku dulu.
Sekarang, literatur berbahasa Inggris dan bacaan-bacaan selain kurikulum Azhar kuanggap sebagai rewards, bukan untuk dijauhi tapi dianggap setara sebagai ilmu pengetahuan yang sama-sama objektifnya.
Jadi ada banyak pelajaran yang saling bersisian, dan itu sangat menarik untuk dilakukan. Selama aku tetap mengerjakan tugas-tugas pokokku, hal-hal lain yang menyenangkan untuk dipelajari boleh masuk dan bergabung dalam semesta hidupku.
Intinya, diberi tanggungjawab berat memang benar mengajarkanku banyak hal. Lebih banyak dari berdiam diri, lengah dan menerima sebagai anggota saja.
*nb for picture: aku baru saja belajar bagaimana trik untuk meningkatkan kemampuan aktif belajar bahasa Inggris (speaking—writing) dan aku merasa bahwa aku juga perlu menerapkannya pada bahasa Arab.
Aku hanya punya dua buku berbahasa Inggris untuk latihan, satu buku non fiksi dan satu kamus. Kata orang, jangan berfokus pada ketiadaan alat-alat mumpuni, karena potensi ada di dalam dirimu. Mari kita lihat progress apa yang bisa kulakukan dengan buku ini!
0 komentar:
Posting Komentar