Opo alamate santri? Alamate santri iku ngaji. Lah jamn saiki wong ngaji iku wes entek. Sing akeh podo sekolah, golek sarjana. Kapan wong ngaji iku entek? Wong ngaji bakal entek yen Al-Quran wes ora dianggap ilmu, mung dianggep woconan lan semakan tok.
--KH Maimoen Zubair—ngaji tafsir jalalain ahadan 06-12-15
Bismillah,
Ahad, 23 Oktober 2022
Masih dalam rangka hari santri. Entah kenapa dawuh Mbah Moen yang ramai dibuat story oleh orang-orang terngiang-ngiang terus di kepala. Seiring dengan sekelebat pertanyaan seorang kawan perihal kabar hafalanku, yang tentu tanpa harus ditanya jawabannya sama, ambyar.
Menuruti apa katanya, maka kucoba mencintai dan mengusahakan penjagaan terhadap Al-Quran dengan membaca. Witing trisno jalaran soko kulino. Nggak harus muluk-muluk dan idealis inginnya selalu hafalan bil ghoib. Padahal aku juga tahu bahwa yang namanya Ahlul Quran bukan dinilai dari seberapa banyak hafalannya, tapi seberapa dekat interaksinya dengan Al-Quran. Tanpa pandang bulu apakah kedekatan itu ia bangun dengan usaha membaca 24/7 atau dengan terus berusaha menghafal meski terasa sulit, bebal, dan susah lancar.
Tapi kendala yang kualami adalah masalah interest. Aku punya kecondongan untuk bosan dengan hal-hal rutintas dan tertantang mencoba hal-hal baru. Dalam kasusku, karena masa SMP-SMA sudah dipenuhi dengan agenda hafalan Quran, di perkuliahan aku jadi banyak meleng ke hal-hal yang belum sempat kucoba di masa sebelumnya; baca kitab, mengabstraksi bacaan, menyusun argumen, berdiskusi, menyederhanakan objek, dan menyampaikannya dengan lebih simpel kepada orang lain (atau boleh diartikan: mengajar). Jadi ini adalah masa-masa di mana motivasiku untuk terus menghafal berada di titik yang lebih rendah dibandingkan minatku terhadap banyak hal lain.
Kemudian di pertengahan bacaan surat Yasin aku jadi tertegun, bukan karena menjumpai sebuah ayat yang relate, hanya saja kalam Mbah Moen tadi tiba-tiba jadi lebih benderang dalam otakku.
“Mengapa orang yang ngaji akan habis jika Al-Quran hanya dianggap sebagai bacaan dan simaan saja? Karena orang-orang sudah tidak menganggap bahwa Al-Quran itu juga ilmu.”
Aku jadi berpikir, bagaimana caranya seseorang itu bisa disebut ‘ngaji’? Dengan meletakkan Al-Quran pada martabatnya sebagai sebuah keilmuan dan mempelajarinya. Belajar tentang segala hal yang berkaitan dengan Al-Quran dan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya, mulai dari asas hingga cabang-cabang yang tersebar menjadi bangunan diskursus keislaman.
Dengan konsep tersebut, aku jadi bisa melihat sesuatu dengan sebuah sudut pandang baru. Ngaji tafsir misalnya, tidak lain adalah sebuah upaya menyelami makna, alih-alih berhenti pada permukaan ayat dan lewat begitu saja. Rupanya orang dituntut untuk belajar begitu lamanya agar tidak mudah menghakimi terhadap apa-apa yang tampak sebatas panca indera. Hmm menarik.
Wkwk sampai sini saja. Tiba-tiba otakku mogok diajak kerja.
0 komentar:
Posting Komentar