Beberapa motivasi aneh yang datangnya dari abi seringkali kuanggap sepele padahal nilainya amat besar. Menulis utamanya. Entah sudah berapa kali abi mengajakku untuk, "mbak, ayo nulis lagi.. " sambil membawa iming-iming dan pencerahan berbagai rupa.
Lalu hanya kutanggapi dengan, "iyaa, bii habis ini," atau "iyaa, bla bla," dan banyak "iya-iya"yang lain. Selalu ada seribu alasan yang bisa dibuat sebagai jawaban atas kenapa aku tidak menulis pada tiap harinya.
Daftar urutan tertinggi alasan itu adalah:
1. capek,
2. tidak sempat,
3. merasa tulisanku sampah(karena tidak bertolak dari buku bacaan, topik yang diangkat kurang meyakinkan dan remeh),
4. malu(kalau-kalau ada yang membaca tulisanku yang sampah ini).
5. Setelah menyusun 4 poin di atas aku jadi merasa, buat apa sih menulis yang ga ada faidahya???? (sambil teriak dan demotivated)
Untuk alasan pertama dan kedua memang tidak bisa dihindari jika seharian aku berkegiatan di luar. Tapi alasan yang ketiga dan keempat, semakin lama aku jadi sadar bahwa itu kurang tepat untuk dijadikan alasan.
Perihal alasan ketiga.
Sebenarnya tulisanku tidak terlalu sampah jika dilihat dari sudut pandang orang yang tidak bisa menulis.
Lalu, blog ini juga tujuannya bukan tempat mengupload jurnal-jurnal ilmiah atau tugas dari dosen dan senior. Jadi, walaupun tulisanku bisa saja dianggap sampah oleh sebagian orang, itu tak ada hubungannya dengan mereka, karena blog ini sosial media tempatku share suka-suka.
Sebagaimana aku tidak memprotes orang lain memposting apa, orang lain juga harusnya tidak mempermasalahkan adanya tulisan tidak jelas ini.
Senior kajian yang melegenda ternyata hobinya juga menulis jurnal harian, jadi tidak ada yang salah dari apa yang kulakukan.
Perihal alasan keempat.
Melihat track viewers blogku yang perminggu dilihat tidak sampai 50 an orang, tentu aku tidak perlu merasa sok penting hingga orang-orang kepo dan ingin menguliti hal-hal tentang aku yang bukan siapa-siapa.
Jadi buat apa malu? Hmm aneh.
Lalu, perihal tulisan yang kusangka sampah, juga pribadiku yang kukira bukan siapa-siapa, ternyata sebaliknya. Waktu terus berjalan dan aku dibutuhkan oleh sebuah organisasi yang dulu menolakku, oleh orang yang dulu kuanggap keren, di bidang yang dulu kuanggap remeh. Hahah, legitimasi manusia dan takdir tuhan.
Ternyata aku masih dihargai meski memilih jalan lain. Itu baru dua tahun proses. Aku jadi mengandai-andai, bagaimana jika waktu berjalan lebih lama. Apakah akan lebih banyak yang berubah?
Who knows.
Seringkali manusia merasa insecure atas pencapaian dan apa yang dilakukannya hari ini, padahal itu baru proses. Nanti Tuhan yang akan membuka mata kita bahwa apa yang kita lakukan ternyata berharga, entah paham dengan kesadaran pribadi, entah melalui apresiasi orang lain. Kata temanku, mengutip dari ayahnya, proses juga bagian dari ilmu. Jadi, jalani saja ya, apa yang sedang dikerjakan di depan mata.
Mari kututup tulisan ini dengan sebuah kata-kata bijak yang terlupa siapa penuturnya,
"Seorang profesional adalah amatiran yang tak berhenti berusaha."
Rabu 23/02/2022
Karena dengan menulis..kamu akan menemukan banyak keajaiban..
BalasHapusBuktikan nanti..
Btw mana tulisanmu yang untuk portal kapan hari?
BalasHapusBelum selesai kah?