Start kamis 02/12/21
Buku tak bisa dinilai sekelibat mata. Untuk memberi cap seru dan membosankan, juga menentukan lanjut tidaknya membaca sebuah buku, perlu pembacaan lebih jauh dari sekadar seperempat bagian pertama. Yang benar baca dulu hingga tuntas baru berikan ungkapan rasa atas pengalaman membacamu.
Tapi, tidak ada salahnya memberikan catatan-catatan kecil dan luapan perasaanmu di sela-sela proses membaca. So, that's what I'm trying to do.
Ada banyak perempuan di buku ini, semuanya dikenalkan dengan meminjam sudut pandang tokoh utama. Yang mana sejauh 90 halaman ini, terkesan sangat menyebalkan, namun juga sangat manusiawi.
Mungkin beberapa orang, termasuk saya sempat merasa heran, bagaimana bisa seseorang dengan nama a,b, c —yang menyajikan cerita dengan tema 'sederhana' bisa dianggap sebagai 'sastrawan yang dianggap'. Namun, saya rasa titik 'kesederhanaan' itulah kuncinya. Penulis yang baik mampu mengangkat tema sehari-hari yang tampak sangat remeh dan familiar menjadi sebuah karya.
Hal tersebut terjadi di buku ini. Tokoh utama yang apa adanya, punya kelebihan namun tidak melulu baik, sangat manusiawi, tentu terasa dekat dengan pembaca. Mungkin kita akan menjumpai satu dua orang sepertinya di kehidupan nyata. Bisa jadi teman, kenalan, atau bahkan kamu sendiri.
Begitu halnya dengan tokoh perempuannya. Ada tiga yang saya suka, si peminjam korek, si tenang yang blak-blakan, juga kikan yang terkesan gampangan namun tak terduga.
Bahkan, setelah akhirnya jatuh hati pada tiga tokoh diatas, saya tenyata masih gagal dalam menduga siapa sebenarnya kekasih sejati sang tokoh utama!
Jawabannya tentu bukan ketiga gadis yang sudah saya sebut.
Ada sebuah luka yang akhirnya diungkapkan. Masa-masa sulit di mana sang tokoh utama menjadi poros sentral pemuda di masa revolusi. Ya, jiwa yang meledak-ledak dan penuh idealisme khas mahasiswa, dididik ketat atas nama organisasi, dikirim dan disekolahkan ke berbagai pelosok negeri untuk membangun batalyon. (saya menduga ia bergabung dengan partai komunis atau sosialis). Namun di saat genting itulah kisah cintanya hadir. Perempuan itu sama sekali tak bersinggungan dengan gerakan revolusionerya. Terkesan diselipkan. Tulus namun berakhir sakit. Sesakit remuknya ideologi yang ia bangun kemudian jatuh, masih lebih sakit kepergian perempuan itu.
Perempuan itu, yang kemudian membuatnya jadi orang lain. Idealis menjadi lebih gampangan, terutama pada perempuan. Sebanyak nama-nama yang pernah ia pacari, sejauh itu pula reputasinya sebagai pria yang main-main dikenal.
*agaknya ungkapan 'orang jahat lahir dari orang baik yang tersakiti' lumrah terjadi :")
Lebih lanjut, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu mengajarkan sebuah proses pendewasaan, bahwa meski cinta selalu datang di saat yang tidak tepat, selalu ada jalan untuk sembuh.
Finish Sabtu, 18/12/2021
0 komentar:
Posting Komentar