F "Kullu wahid nafsuh!" - Satpam Abbasea

"Kullu wahid nafsuh!"






±13.33 (syari' mustafa nuhas)
Langit tak memberi tanda-tanda bahagia sama sekali. Ujung ke ujung kelabu. Beton besi yang biasa kududuki sambil melamun menunggu bus sekarang disemen rapi, ditutup keramik hitam kelir coklat. Di sepanjang jalan, di bawah pokok kubri banyak kafe, dan tasku dengan sengaja bertabrakan dengan salah satu kursi di sana. Sekarang susah untuk duduk di beton tanpa berurusan dengan kursi meja .

Kepalaku berputar; secara harfiah dan maknawi. Kanan kiri depan belakang. Sebuah bus dengan tulisan atabah memperlambat laju, sampai di depan mukaku. 69 coret. Kakiku hampir terayun saat otakku memberikan komando, "kita tidak sedang dalam mood yang bagus untuk jalan-jalan dengan kemungkinan tersesat."

Lama kemudian, bus 136 melambat dan hampir kulewatkan gara gara kepalaku sibuk berputar sana-sini dan melamun. Aku melompat menerjang mobil menuju bus. Seperti biasa ramai dan aku 'kesal tapi tetap naik'.

Bus penuh orang. Kakek-nenek, mbak-mbak, dan bapak-bapak. Semua kursi terisi, lengkap dengan barisan penumpang yang berdiri menghadap jendela seperti tahanan hendak ditembak.

±14.10 (sillim jamiah azhar)
Mbak-mbak muda di hadapanku turun, mempersilakan kursi kosongnya padaku. Aku tersenyum dan duduk dengan mantap menghadap jendela. Meski melamun, kupingku tanpa disuruh masih aktif mendengar hal-hal yang kadang tidak perlu. Ibu-ibu cantik paruh baya di belakangku gaduh. Mulanya suaranya terdengar seperti racauan, tapi lama-lama aku paham. Ia sedang mengomel—entah pada siapa. Bapak tua di belakangku; tepat di hadapannya, menawarkan kursi.

"Tidak, tidak! Aku tidak menyuruhmu untuk memberi kursi.. Bla bla.. Dasar tidak tahu akhlak dan tata krama.. Bla bla.. "

Aku tak bergeming dan tetap menatap jalan, kupingku mendengar kata kata "kabiir,  soghir," dan semacamnya.

"Bagaimana bisa orang-orang ini membiarkan yang tua berdiri sementara dia enak enak duduk.. Bla bla.. Benar-benar! Padahal masih muda dan kuat berdiri.. Bla.. Bla.. Semua orang benar-benar egois! "

Apakah dia sedang menyindirku?

±14.15 (muhimmat)
Tepat setelah pikiran suudzon itu muncul, ibu cantik itu mencolekku dengan tatapan 'ayok dong peka! '

"Ya bint, berdirilah, dan biarkan kursimu diduduki oleh bapak tua di sana,"

Masih dalam posisi duduk, aku mencari-cari siapa bapak tua yang ia maksud. Aku menemukan seseorang dengan pakaian dan wajah bulat seperti pak polisi memegang kruk di tengah-tengah massa. Meski aku enggan tapi mata orang-orang di hadapanku setuju dengan si ibu cantik; 'pindah!'

Tapi orang-orang di bangku belakang yang juga merasa tersindir oleh omelannya akhirnya mengusungkan seorang bapak-bapak untuk merelakan kursinya dan berdiri; dengan muka masam dan malas beranjak.

"Dia saja, hei! Dia ini masih muda! "

Perdebatan sebentar dan hasilnya aku berdiri, disusul bapak itu juga.

Bapak berwajah bulat dengan kruk duduk, menanyai di mana aku turun, kemudian minta maaf sambil tersenyum seperti pak polisi di depan rumah.

"Ana nazil ba'dik, ma'lesh." maafkan aku mengambil kursimu, padahal aku sebentar lagi juga turun.

Oke. Baiklah aku masih muda dan masih banyak kawan untuk berdiri bersama—para kakek nenek yang akhirnya jadi perdebatan di kalangan penumpang muda; siapa yang berhak duduk duluan.

Kakek nenek yang berdiri itu berbudi baik, masih sempat menolak tawaran.

"La' tfaddol, ana syabaab.. "
Mbak-mbak muda itu juga.

Begitupula orang tua di kursi belakangku, kedua kalinya ia menawarkan kursi untuk si ibu cantik, kali ini ia sampai benar berdiri, dan dua kali pula ia ditolak.

±14.45 (heart attack)
Aku melompat turun dan meninggalkan drama perkursian bus.



Senin, 6 Des 2021


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar