F Perempuan di Titik Nol; harga yang harus dibayar untuk sebuah prinsip - Satpam Abbasea

Perempuan di Titik Nol; harga yang harus dibayar untuk sebuah prinsip




















Dinginnya suhu di penghujung tahun menarik kesadaran saya perihal bumi yang sedang saya pijaki sekarang. Bumi yang sama; dengan yang pernah ditinggali oleh Nawal el Saadawi, terkhusus Firdaus, di jantung Mesir—Kairo, 47 tahun setelah kematiannya.

Nawal, berdasarkan secuil pembacaan saya, (baru saya ketahui saat wafatnya) adalah seorang dokter, juga pegiat feminisme ternama. Agaknya itulah yang menggelitik saya untuk tahu lebih jauh seperti apa kiranya buah pemikiran seorang tokoh feminis, dan mengambil buku "Perempuan di Titik Nol" sebagai bacaan yang ingin saya tamatkan duluan—selain karena warna merah sampulnya yang khas dan ukurannya yang hanya sebesar buku saku.

Pada bukunya, Nawal mengisahkan bagaimana perjumpaannya dengan Firdaus; wanita yang luar biasa berani, yang berhasil menggetarkan pikirannya. Demi mengulik alasan dibalik jatuhnya hukuman mati pada Firdaus, terang benderanglah segala hal yang menggentayangi pikirannya sejak kali pertama ia mendengar kabar perihal wanita itu. Nawal hendak meneriakkan suara Firdaus pada dunia; sebuah sudut pandang lain dari wanita yang dianggap rendahan karena profesinya sebagai pelacur.

Sebagaimana banyak rakyat pinggiran, Firdaus hidup dalam banyak kesulitan dan hal-hal pahit. Luapan amarah, ketakutan, rasa lapar, dingin, kekerasan fisik dan psikis, juga ketiadaan kasih sayang dan rasa aman menjadi makanan wajibnya sejak kecil. Membentuk pribadinya menjadi pembelajar jalanan, digilas berbagai realita berduri.

Dari semenjak usia belia, banyak ia dapati pelecehan yang dilakukan lelaki pada wanita—baik yang terjadi pada dirinya, maupun wanita lain di seputar kehidupannya. Rasa takut dan kebenciannya pada kebusukan lelaki yang mulanya hanya bisa ia pendam kelak menjadi bom waktu yang berujung pada maut.

Firdaus, dalam banyak pelarian dan pencariannya tentang hidup, melewati serangkaian titik genting dan emosional. Serangkaian titik itu bernama keluarga,  teman masa kecil, suami, orang asing, tamu yang singgah, kekasih—yang semuanya adalah lelaki, dan ia sebut sebagai penjahat.

Di dalamnya ia menemukan kesadaran dan prinsip-prinsip hidup, juga kebenaran yang ia pegang dengan teguh. Firdaus, yang adalah seorang pelacur, sebenarnya tahu bagaimana caranya menjadi wanita terhormat, tahu lebih baik dari kebanyakan orang tentang nilai seorang wanita, dan ia memegang kendali penuh atas dirinya; di titik nol yang ia pilih.


***

Buku ini, membuat saya kembali sadar bahwa ada kehidupan keras yang tidak dibuat-buat, dunia kelam yang dijalani Firdaus dan banyak orang lainnya, bersisian dengan kehidupan aman dan normal yang saya dapatkan.

Pandangan Firdaus yang dipenuhi kebencian terhadap lelaki, dibentuk oleh apa yang ia dapatkan sepanjang hayatnya. Teori-teori agama yang diajarkan padanya, nyatanya hanya diramu sejauh mulut, untuk kemudian dirusak sendiri oleh perbuatan lelaki dalam masyarakatnya.

Maka demikian, sungguh sangat disayangkan ketika membaca sesuatu tanpa melihat konteksnya dalam berbagai sisi, yang dalam hal ini diwakilkan oleh 'Firdaus dan penentangan kerasnya terhadap laki-laki'—ternyata merupakan bola salju dari kebusukan yang ia dapatkan semenjak kecil.

Pun bukan berarti pandangan Firdaus benar secara mutlak dan bisa diterima mentah-mentah untuk diaplikasikan. Masih terlalu jauh bagi saya untuk menyimpulkan. Semua kembali pada pemahaman dan pembacaan anda.

But, enjoy saja baca bukunya, itung itung menambah insight baru. Finn~




Sabtu, 20 Nov 2021





CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar