Sesi diskusi makalahku dua minggu lalu (yang kusebut-sebut sebagai pembantaian itu) ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan diskusi makalah hari ini. Iya, sungguh jauh. Baik dari segi materi yang kubawakan dalam makalah, jalannya diskusi, pembawaan moderator hingga atmosfer peserta yang kritis. Tidak banyak keheningan dan kompromi remeh yang terjadi tadi. Meski suasananya santai, diskusi berjalan serius sebagaimana 'seharusnya'. Hari ini aku erasa jadi anak kajian beneran hahah.
Saat pdf makalah dikirimkan di pagi hari, dari judulnya saja sudah membuatku kehilangan mental barang sekejap. "Wah ini sih dari judulnya saja aku ga paham," batinku. "Cahaya Islam dalam Skripturalisme", begitu bunyinya.
Makalah berjumlah 15 halaman itu sukses membuatku geleng-geleng kepala. "Kok bisa ya, orang bisa mengalir menuliskan sebuah karya ilmiah sebanyak ini." Meski sebenarnya berat, aku akhirnya bisa tuntas membacanya hingga selesai tepat beberapa menit sebelum diskusi dimulai.
Yang membuatku tak kalah kaget adalah ditunjuknya aku—yang datang sebagai tamu dari kelompok lain—secara spontan oleh pembimbing kajian. Aku gelagapan karena tak mempersiapkan apapun (karena instruksi sebelumnya begitu, datang saja tak usah persiapan, katanya). Sejujurnya aku juga tak terlalu paham isi makalahnya tentang apa. Menurut pembacaan umumku mungkin bisa dipahami sekilas tentang apa yang ingin disampaikan penulis. Tapi untuk menyanggah, memberi kritik, dan saran, kapasitasku kurasa belum sampai sana.
Nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau, karena telah ditunjuk, sebagai bentuk profesionalitas anak kajian dalam diskusi, aku mengiyakan, meski dalam hati bingung setengah nglindur. "OMG aku kudu ngapain hellooo! "
Yang selanjutnya membuatku takjub adalah ketika moderator membuka acara dengan bahasa Indonesia baik plus gaya bahasa ilmiah khas anak kajian. Penulis makalah juga begitu. Peserta pertama, kedua, ketiga, hingga akhir semuanya sangat profesional dalam bahasa! Sama sekali berbeda dariku yang sedikit-sedikit keceplosan ngomong jowo (meskipun saat presentasi makalah atau memberikan opini) So saadd :')
Meski awalnya otakku kosong dan merasa inferior akibat mendengar kritisasi makalah dari peserta lain (yang entah sudah baca buku dan ikut kajian berapa banyak, kelihatannya sih buanyak sekali, omg) lambat laun otakku diberikan kemudahan untuk memproses alur diskusi kelompok yang pembimbingnya kakak kelasku sendiri. Memang secara struktural agenda diskusi tidak jauh berbeda, tapi eksekusinya kuakui lebih dalam dan hidup dari kelompokku.
Sebagaimana yang kurasakan saat menjadi MC bedah buku di kesempatan yang lalu, atmosfer kritikan dan saran yang mengalir bergantian dari tangan moderator, penulis dan peserta sungguh membuatku tak habis pikir. "Wah, Nad, bisa-bisanya kamu terdampar di sini, parah sih." Begitu kurang lebih otakku berkata.
Mungkin bakal memalukan ketika giliranku memberikan kritik dan saran tapi tak dilandasi dengan argumen serta data yang masuk akal dan akurat, tapi akan lebih malu lagi jika aku mengatakan sepatah kata saja tidak berani. Ini adalah forum diskusi di mana semua orang berhak, bahkan wajib untuk bicara—yah meski kualitas argumen seseorang bergantung pada pengalaman, kemampuan berpikir serta sejauh mana buku yang ia baca.
Oke. Jadi yang kulakukan dalam situasi mendesak seperti itu adalah menerima; Penerimaan dengan sepenuh hati bahwa aku memang masih bodoh dan harus belajar. Maka apapun yang nanti terucap meski nanti terdengar konyol, tidak masuk akal dan memalukan, itu namanya proses belajar. Tak apa, tak apa, kamu masih belajar.
Kata kak Suhe, pembimbing kajian kompokku, "Nggak papa kamu salah di sini, ketahuan nggak bisa di sini. Dan malah harus. Jangan sampai di Indonesia baru sadar. Wah, bisa-bisa dihantam orang kamu."
Dan hasilnya pun ternyata tidak seburuk yang kukira. Xixi. Aku bisa mengutarakan beberapa pendapat, meski itu berupa pertanyaan atas beberapa pembahasan yang kurasa janggal atau membingungkan.
Oh iya, satu lagi. Dari penulis makalah hari ini aku belajar satu hal paling penting (yang bisa menjadi jawaban atas kesalahan fatal yang kulakukan saat menjadi pemakalah pada diskusi lalu). Meski dibantai habis-habisan, meski seluruh peserta menyangkal dan menolak makalah dan pembahasan yang kita bawa, meski (sekali lagi) argumen mereka teramat sangat masuk akal dan mayoritas benar, tak ada alasan untuk kalah (atau bahkan pasrah dan merengek sepertiku).
"Kita bisa mengaku salah tanpa menyerah."
Caranya; ya sampaikan saja alasan-alasan dan argumen terkuatmu hingga titik darah penghabisan, baru menerima kritikan orang sebagai masukan—tentunya semua dengan cara yang elegan, dan khas anak kajian, haha!
Selasa, 05 Oktober 2021
Makalah makalah nya diupload diblog. Taruh di google Drive atau MediaFire trus link nya taruh sini
BalasHapus