F Amunisi - Satpam Abbasea

Amunisi






Sudah lama sejak aku akhirnya baca buku yang kubeli sendiri. Oh, tunggu. Jika dipikir-pikir selama ini aku memang tak pernah beli buku sendiri. Maksudku begini, aku tahu bahwa uang yang kugunakan untuk 'beli buku sendiri' adalah uang orang tuaku, tapi kali ini aku memilih sendiri bacaan yang ingin kuketahui.

Jika dulu yang kubaca adalah tumpukan buku yang dibeli abi ummi semasa muda, pinjam teman sana-sini, pdf bajakan, hingga pemberian—hey, sekarang aku bisa membeli buku dengan uang saku!
Bukan pencapaian yang hebat, sih. Tapi aku senang.

Yah, ini memang sudah saatnya merambah genre bacaan baru. Buku-buku non fiksi yang dulu terlihat sebagai bacaan menjemukan milik orang dewasa, ternyata sekarang cukup menarik—karena menunjang pembelajaranku, atau sebenarnya pelajaran yang kuterima hingga saat inilah yang membantuku memahami sebuah buku baru.

Ambil saja contoh pembacaanku pada buku"Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?" Topik yang diangkat memang menarik—mengulas akidah islam pada kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali, dibawakan dengan bahasa yang merakyat dan disusun runtut pada bab-bab yang pendek dan ringkas. Seru sekali!

Tapi, bacaan itu mungkin tidak akan menjadi seru ketika pembacanya adalah orang awam yang belum pernah belajar mantiq dan tauhid. Ia akan susah memproses apa yang disampaikan penulis, bahkan bisa gagal paham.

Karena apa?

Istilah-istilah yang digunakan, serta dasar pembahasannya mengarah kepada kedua fann ilmu tersebut.

Jadi, pada intinya aku hanya ingin bersyukur pernah belajar tauhid, mantiq, (juga maqulat yang sedang on going). Pertanyaanku saat pertama kali ikut bimbel mantiq terjawab,

"Kenapa kita harus susah-susah belajar mantiq, sih? Apa faidahnya?"

"Biar paham baca buku lain, Nad. Biar ga loading-loading amat, wkwk."



Jumat, 01 Oktober 2021


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar