F Hal-hal sekecil senyuman, roti dan permen - Satpam Abbasea

Hal-hal sekecil senyuman, roti dan permen

Rabu, 16 Juni 2021

Kau harus tahu bahwa cuaca gurun tiap siang bisa membuat orang meleleh meski sekedar berjalan pulang pergi kuliah. Di cuaca yang seperti itu, seperti biasa aku keluar kelas sendirian, berjalan, naik tremco, turun, menyeberang, menelusuri gang-gang dan kemudian berziarah, semuanya sendirian. Kecuali ketika ada beberapa orang yang dengan kemurahan Tuhan dikirimkan untuk menemani perjalanan, atau sekedar mengulur sapa di tengah jalan.

Tadi, untuk pertama kalinya dalam rangkaian ujian ini aku membuka diktat kuliah selepas mengerjakan soal. Alasannya sederhana, sebuah soal menamparku tipis-tipis. Di soal pertama ujian ilmu hadits, duktur menanyaiku siapa itu Ibnu Solah, nasabnya, di mana beliau lahir, apa kebangsaannya, madzhab yang dianut, perjalanan kehidupannya, juga ilmu apa saja yang beliau kuasai. Tentu saja itu bukan pertanyaan yang aneh untuk ukuran soal ujian. Yang aneh adalah aku, yang sama sekali blank.

"Hei, yang benar saja. Kau tahu biografi ini ada di halaman sebelah mana, dasar bodoh. Kenapa tidak kau baca!"

Rutukan itulah yang membawaku melamun sambil menimang-nimang diktat di tremco. Bagaimana bisa seseorang yang katanya mahasiswa Al-Azhar tak tahu siapa pengarang diktat yang dibacanya. Wah, keterlaluan sekali. Memang yang benar itu adalah belajar jauh-jauh hari sebelum ujian, murojaah sepulang kuliah, dan tetap baca diktat walaupun ujian usai.

Di darrosa, selepas ziaroh lamunanku ternyata tak kunjung selesai. Entah apa yang kupikirkan yang jelas siang begitu terik, meski angin berhembus sejuk. Intinya aku rindu kasur di rumah.

Sebuah bus jurusan Babus Sya'riah - Abbasiyah lewat dan aku segera naik. Setelah membayar karcis aku masih saja lanjut melamun. Di saat  melamun, orang-orang dan segala hal yang kulewati di sekitar seperti film yang diputar begitu saja, bising dan kosong. Di pemutaran film singkat itu, dari sudut mataku aku melihat seorang pria tua bertongkat kruk dan bocah laki-laki naik. Mereka ada di sebelahku dan aku bisa tahu bahwa pria tua itu memperhatikanku.

Oh. Ternyata aku duduk terlalu serong ke jalan. Maskerku sudah tak berbentuk dan lunglai.

"Nazil fein, Ya Hagg?" Suara sopir nyaring menanyakan bapak tua itu mau turun di mana.

"Nazzilni akhir syari'. " Pria itu menjawab ringan, tanpa merasa perlu mengeluarkan sepeserpun uang untuk membayar karcisnya dan juga bocah itu — yang kupikir cucunya.

Ah. Sopir yang baik.

Baiklah. Setelah posisi dudukku sudah normal, dua orang itu turun di ujung belokan menuju Babus Sya'riah, menuruni tangga bis yang berada tepat di hadapanku.

Sejajar dengan pandanganku, aku bisa melihat dengan jelas pria tua itu mengenakan gamis putih, yang tentu saja penuh noda sana-sini— khas bapak-bapak pekerja. Dua kruknya ia sangga dengan tangan kiri kemudian turun. Bocah kecil di belakangnya berbaju biru, biasa saja seperti anak SD pada umumnya. Yang tidak kutahu adalah kenapa ia terlihat seperti menggigit lidahnya sendiri.

Tiba-tiba bocah itu menoleh. Menatap mataku dalam-dalam. Sepersekian detik itu dia mengamatiku seperti melihat mainan baru. Sepersekian detik berikutnya dia bilang, "Haai"—dengan ekspresi imut yang tidak bisa kugambarkan, kemudian turun ke jalan.

Aku terbata-bata menjawab, "h-hai" tapi dia sudah menghilang dari pandangan. Dia menghilang tapi mulutku masih tersungging, menyisakan ucapan hai yang tak sampai.

Omg! aku seperti disapa seorang tokoh film kesukaanku di masa kecil, yang entah ada di potongan adegan mana. Lucu sekali.

Ternyata setiap orang, tanpa sengaja, punya sebuah aksi kecil berisi kebahagiaan yang yang bisa dibagi kepada orang lain. Siapa sangka sebuah sapaan singkat bisa membuat jam-jam yang tadinya diisi lamunan mendadak sedikit cerah.

Aku jadi ingin melakukan hal-hal kecil juga.

Nah. Aku jadi teringat pada pria tua mungil berkacamata tetangga rumahku. Entah bagaimana ia menjalani harinya, yang jelas ia selalu tersenyum. Di jalanan yang sepi pengunjung ia duduk. Menjajakan beberapa kardus jajan yang tidak terisi penuh. Di belakang kursinya ada kertas-kertas berisi gambar dengan spidol hitam seadanya.

Di hari dimana aku membeli wafer di lapak kecilnya, sejak itulah pria itu selalu tersenyum ketika aku lewat, mengangkat tangannya, dan menyapaku tanpa suara.

Kemarin, sepulang kuliah pria tua itu memanggilku dan memberi dua buah permen. Hari ini, maksudku ingin kubalas, tapi aku segan jika ketulusannya kubayar mentah-mentah dengan uang. Untung saja melon yang baru saja kubeli memberiku ide, hahah.

Kulihat pria tua itu ada di kursinya yang biasa. Lengkap dengan topi dan roti untuk makan siang. Dengan kaku-kaku aku berjalan ke lapaknya dan meletakkan sebutir melon di meja. Hadiah, kataku. Aku buru-buru kabur tapi dicegah. Beberapa tangkup roti yang ada di hadapannya dihamburkan kepadaku, lengkap dengan keju yang seharusnya jadi kudapan siangnya. Aku ingin menolak, tapi akhirnya roti itu tetap kubawa pulang. Pria tua itu mengisyaratkan dengan bahasa tubuhnya bahwa, aku ingin berterimakasih juga atas melonnya, katanya—yang lagi-lagi tanpa suara.


CONVERSATION

4 komentar: