Satu Semester bersama Bocil
Setelah akhirnya kami diterima di universitas Al-Azhar, tentunya hal yang paling dinanti bagi kami para calon mahasiswa baru adalah keberangkatan menuju negeri Kinanah itu sendiri.
Entah sudah berapa lama kami menunggu tanpa ada kabar yang jelas terkait tanggal terbitnya visa dan pemberangkatan. Memang kami tidak lagi heran kenapa hal sepenting "Tes dan Penerimaan Mahasiswa Baru"-sebuah Universitas Islam tersohor- bisa se-tidak efisien ini. Masalahnya kami pikir ada pada budaya penduduk asli tersebut yang memang suka molor, tapi ternyata Kemenag juga ambil andil dalam hal membuat jantung kami deg-degan serta was-was berkepanjangan.
Bagaimana tidak, ujian yang biasanya diadakan pada awal bulan Mei bisa mundur hingga sebulan ke depan, yaitu di bulan Juni. Ditambah lagi dengan adanya sistem ujian baru berbasis online-yang materi serta tata caranya baru diumumkan ke khalayak ramai beberapa minggu sebelum tes- menambah beban pikiran kami, orang tua serta pihak mediator tentunya.
Kami sungguh beruntung ditempatkan Allah berada di sebuah lembaga yang dengan sigap mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan perihal jalannya tes sehingga kami bisa dibilang lebih siap dari peserta lainnya.
Baiklah. Kembali lagi ke masalah pemberangkatan. Setelah dua kali pengumuman kelulusan tes yang diundur-undur juga, tibalah kami ke masalah "undur-unduran" yang lebih parah!
Bisa dihitung sejak bulan Juli aku kembali ke rumah. Berharap sedikit banyak bisa membantu ibu di rumah, serta merekatkan hubungan kekeluargaan yang memang seharusnya direkatkan kembali sebelum pergi jauh.
Baru genap dua Minggu di rumah aku sudah tidak betah. Aku tidak tahan menjadi anak manis yang patuh, suka mengaji, rajin beberes rumah, dan gemar pada anak-anak. Tidak, aku tidak tahan!
Entah sejak kapan berinteraksi dengan orang lain bagaikan kebutuhan primer bagiku. Sampai-sampai aku pikir aku bisa gila jika terus-terusan tepekur dibuai empuknya kasur rumah. Aku butuh orang lain!
Abi yang mengetahui kegelisahnku mencoba memberikan solusi. Jadilah akhirnya aku membantu menjadi pengajar tahfidz di SD ku dulu. Jangan ditanya aku malu atau tidak. Jelas sekali aku malu. Bukan karena tidak terhitung lagi orang yang menanyakan perihal keberangkatanku ke Mesir, tapi karena seorang bocah sepertiku ini merasa tak punya pengalaman mengajar sama sekali!
Tapi Allah Mahabaik. Dengan diterimanya aku di sana, banyak hal baru yang kudapat dan kusyukuri.
1. Aku jadi bisa melanjutkan kebiasaan bangun dan mandi pagi.
2. Punya banyak orang yang mungkin menyayangiku.
3. Pengalaman mengajar itu luar biasa!
4. Jangan pernah remehkan gurumu, teman! Jadi guru itu gak gampang!
gambarnya kok cuma satu mbak
BalasHapus