Ada hari hari di mana aku sama sekali tidak dapat mengontrol emosi. Di hari itu aku tidak tahu sebab dari kemarahan dan kegelisahanku sendiri. Aku kerap kali menangis tiba-tiba, saking tidak mampunya memroses pertanyaan "kenapa" yang banyak sekali jumlahnya.
Sedang tangisan itu sendiri akan menambah daftar "kenapa" lain yang masih mengantre untuk dijawab.
Kadangkala "kenapa" dan "mengapa" itu memang sama sekali gelap. Buntu. Yang ketika semakin dipikir hanya akan menambah panjang tangisan. (Asumsiku, kekalutan yang tidak terkendali seringkali direspon tubuh dengan tangisan, mungkin dengan maksud menenangkan dan membersihkan luapan emosi yang menumpuk tanpa bisa diterjemahkan.)
Namun, seringkali tangisan yang lahir dari respon tubuh itu diasosiasikan negatif oleh egoku, jiwa, otak atau entah bagian tubuh manapun yang punya kontrol dengan emosi. Jadi sepertinya ada ketegangan yang sengit antara tubuh dan ego—sementara diriku yang menangis sambil tidak tahu "kenapa" itu ada di tengah-tengah.
Perihal naluriah tubuh yang direspon negatif oleh ego, biasanya disebabkan oleh ketakutan semacam;
- perasaan tidak pantas untuk menangis (karena masih ada orang dengan masalah yang lebih besar dari ini pun tidak menangis).
- justifikasi orang lain bahwa menangis itu salah dan bukan pada tempatnya. (misalnya seperti anggapan bahwa diriku hanya membuat-buat masalah padahal sebenarnya tidak punya masalah).
- rasa malu dan keengganan untuk dipandang kurang dan rendah ( mungkin ada beberapa orang sepertiku yang sulit memberikan transparansi terkait diriku yang minus dan apa adanya).
Kurang lebih, ketakutan semacam itu, yang mulanya dipersepsikan sebagai benteng untuk mencegahku menangis, malah jadi paradoks—karena ketegangan dan ketakutan hanya akan melahirkan respon tubuh berupa tangisan yang lebih banyak.
Solusi yang ditawarkan biasanya adalah afirmasi (bahwa seseorang sah-sah saja untuk menangis) atau memberi jarak sebagai orang ketiga (dan melihat tangisan sebagai sebuah fenomena psikologis tertentu, tanpa memberi penghakiman terhadap baik buruknya tindakan tersebut).
Tentu saja praktik tidak semudah teori.
Jadi kurasa orang-orang dengan kemampuan mengolah emosi harus mulai bersyukur, karena ada orang sepertiku yang untuk meregulasi emosi saja bisa amat sulit.
Tapi, karena fenomena ini terlampau sering terjadi dan dipikirkan, aku mulai memutuskan untuk berhenti bertanya "kenapa" dan mengganti kalimat tanya dengan "bagaimana".
Jadi alih-alih menanyakan " Kenapa aku menangis? Kenapa aku yang salah? Salahnya di mana? Kenapa begitu sulit?" (dan berbagai pertanyaan lain dengan tendensi negatif)
Sepertinya lebih cocok untuk memberikan distraksi, sebuah sekat yang melerai pertikaian tubuh-ego di drama tangisan dengan berhenti sejenak.
Sebuah pertanyaan seperti "Bagaimana kalau aku tidur saja? Apa aku butuh minum? Buku meditasi sepertinya cocok untuk mengembalikan moodku. Apa aku searching saja?" (dan berbagai pertanyaan netral lain yang keluar dari fokus masalah) sepertinya bisa jadi opsi lebih ampuh untuk menenangkan diri.
Tentu ini tidak mengarah pada pengabaian terhadap akar masalah. Karena fokus yang diupayakan adalah regulasi yang cocok dengan diriku sendiri. Ketika emosi sudah teralihkan dan diriku bisa lebih tenang sedikit, ego, otak, jiwa dan tubuh akan lebih lancar untuk diajak kolaborasi.
Dan pertanyaan-pertanyaan kenapa negatif tadi bisa diwakilkan untuk dijawab Google saja.
*sebuah renungan yang terbesit dan bacaan yang klop dengan itu: https://www-olesyaluraschi-com.translate.goog/blog/post/deficit-mindset-and-red-car-syndrome?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=rq
Senin, 16 September 2024
Perayaan Maulid Nabi
0 komentar:
Posting Komentar