F Rekonstruksi kodifikasi filsafat islam - Satpam Abbasea

Rekonstruksi kodifikasi filsafat islam


Kata pengantar; Mazhab-mazhab Filsuf Timur (Dr. Atif Iraqi) 

Dr. Atif Iraqi membuka bukunya seperti layaknya sikap seorang filsuf, mengkritisi bangunan yang sudah mapan dan populer sembari mendatangkan argumen dan solusi. 

Ada beberapa hal yang perlu dikoreksi dari pembaacaan dan kajian tentang filsafat islam, yang akan mengubah perjalanan peneliti dalam memecahkan dan menyikapi permasalahan di sekitar wacana filsafat. 

Setidaknya ada lima poin yang menjadi titik kritik beliau atas kajian filsafat islam yang sudah-sudah, empat di antaranya adalah:

1. Glorifikasi terhadap relasi antara agama dan filsafat

Kebanyakan peneliti ingin meniadakan silang sengkarut dan macam-macam perdebatan yang terjadi pada ranah filsafat, demi tercapainya narasi yang baik antara filsafat dan agama. 

Padahal perdebatan tersebut memberikan gambaran utuh kepada generasi setelahnya atas panggung dialektis keilmuan dan corak keilmuan pada masanya, maka tidak seharusnya dikesampingkan apalagi dihilangkan. 

2. Tidak memberikan diferensiasi topik terhadap filsafat dalam ranahnya yang khusus dan filsafat dalam ranah umum

Para peneliti masih terjebak pada stigma bahwa filsafat hanya mempunyai ranah umum, yang oleh karenanya banyak keilmuan bisa masuk. Sebutlah tasawuf dan teologi (ilmu kalam) yang seringkali disebut-sebut sebagai warisan filsafat islam. 

Perlu dipahami bahwa filsafat tidak hanya punya ranah umum yang menampung berbagai jenis keilmuan, ia punya ranah khusus yang tidak bisa dimasuki kecuali oleh sistem metodologi filsafat yang ketat. 

Maka, perlu dipisahkan antara tasawuf dengan metodologi batin (dzauq—irfan) serta ilmu kalam dengan metodologi debatnya—dengan filsafat murni dalam ranah khusus yang menggunakan metode rasional folosofis. 

Ini tidak berarti pendiskreditan atas integritas keilmuan dari tasawuf maupun ilmu kalam, dua diskursus keilmuan ini tetap punya kedudukan yang tidak kalah berharga pada ranahnya sendiri (di luar ranah khusus filsafat). 

Pemberian diferensiasi umum dan khusus ini juga berlaku pada penyeleksian; mana tokoh yang benar-benar punya corak filosofis yang utuh dan tersistem, baik secara metode maupun ide filsafat yang diusung, dan mana yang tidak memenuhi standar tersebut. 

Diferensiasi ini akan berimplikasi pada naiknya nama-nama filsuf baru yang mungkin belum populer dikenal, pun juga mengeluarkan nama-nama populer yang digembor-gemborkan sebagai filsuf, padahal bukan. 

Tujuannya tidak lain adalah pemurnian metodologi filsafat dari selainnya dan pemberian batas pembakuan atas topik-topik filsafat.

3. Revivalisasi (penghidupan kembali) manuskrip filsafat

Revivalisasi tidak berarti sekadar pembaruan dari kertas berwarna kuning menjadi putih dan pelipat gandaan buku-buku lama. Bukan juga sekadar memerbaiki tipografi naskah dan menyandingkannya dengan naskah lain kemudian menerima begitu saja peninggalan lawas tersebut. 

Penghidupan kembali bermakna mengulas dan memikirkan kembali wacana filsafat yang dicetuskan oleh para filsuf di era yang lampau dengan menggunakan kacamata pembacaan zaman ini. Ini tidak berarti secara serampangan wacana tersebut dilemparkan jauh dari apa yang sudah dikonsepkan oleh pencetusnya, bukan pula upaya penyucian wacana dari berbagai macam karakteristik permasalahannya.

Yang dimaksudkan dari upaya penghidupan kembali adalah memerbaiki pandangan pembaca zaman ini terhadap wacana filsafat lama tanpa mengurangi nilainya, bahkan ingin menempatkannya pada kedudukan yang semestinya. 

Salah satu keniscayaan dari upaya ini adalah perbedaan cara pandang terhadap sebuah permasalahan filsafat antara tokoh masa lalu dan penelitinya di masa ini. Kritik atas pandangan seorang filsuf itu wajib dilakukan, seagung apapun namanya filsuf tetaplah manusia. Sebagaimana ia bisa saja salah dan itu bukanlah aib, maka tidaklah tercela bagi peneliti di masa sekarang untuk mengkritisi titik alpa tersebut. 

4. Konsep Keterpengaruhan (taatsur)dan Memberi Pengaruh (ta'tsir) 

Perlu disadari bahwa keilmuan itu merambat dan berpindah secara cepat dari tempat ke tempat, bahkan dari bangsa ke bangsa. Dan di dalam proses perpindahan itu ada keterpengaruhan satu sama lain. 

Maka sebuah kesalahan besar ketika mengatakan bahwa filsafat yang dimiliki oleh orang-orang Arab pada saat itu adalah hasil karya otentik tanpa keterpengatuhan sama sekali. Itu hanyalah kesimpulan yang tergesa-gesa dari peneliti yang tidak memberikan komitmennya secara utuh pada pengetahuan. 

Kurangnya penelitian mendalam (tanpa disertai bukti sah, kuat dan verifikasi penelitian terpercaya) terhadap silang keterpengaruhan ini mengakibatkan klaim sepihak, tidak hanya dari segi autentisitas filsafat islam itu sendiri, tapi klaim pada pengaruhnya atas geliat pemikiran filsafat di masa mendatang. 


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar