Sepertinya yang hilang dari diriku adalah kepecayaan diri. Bukan hilang sepenuhnya, karena pun aku tidak merasa pernah menggenggamnya dengan sangat. Seminimalnya kepercayaan diri adalah perasaan yang membuatku tetap berjalan ke sana kemari meski lelah, terus melakukan hal-hal berat meski aku tak tahu ujungnya di mana.
Ada hal-hal yang kurasa aku cukup percaya pada kemampuanku di sana; berpikir, mengutarakan pendapat, cepat tanggap. Ternyata mereka sepakat berkhianat.
Pada sebuah siang di sesi aktif belajar yang keberapa, sekonyong-konyong di hadapan semua orang aku tergagap dan freeze—otakku mogok. Aku berusaha mencerna kata demi kata yang disuguhkan Seyyed Hosein Nasr, berbahasa Inggris. Harusnya aku bisa!
Lima menit dan mata semua orang beralih dari hadapanku, menatap satu sama lain dan berkata: kasihan.
Begini rasanya dikuasai kesempitan; kerongkongan hingga punggung belakangku semuanya menggigil. Entah apa yang harus kukecam terlebih dahulu—antusiasme semua orang yang menodongku bekerja tanpa henti, materiku yang tak kunjung selesai dari bulan sebelas, atau otakku yang belum siap kerja setelah ujian termin yang melenakan! Aku tidak ingat kapan terakhir kali merasa serendah ini.
Perasaan lemah dan tidak berdaya yang menghujaniku entah darimana, sekarang bibitnya bercokol di sana sini. Rasanya semua hal yang kukerjakan tak pernah ada yang beres. Kenapa aku dituntut untuk bisa segala hal dalam waktu dekat? Kenapa semua orang memberiku tanggungjawab yang bahkan tidak becus kulakukan? Bagaimana caranya mencintai pekerjaan yang tidak bisa kulakukan dengan baik? Ternyata hanya sebatas ini kemampuanku?
Hanya begitu saja hingga semua hal terasa dipaksakan untukku.
Senin, 6 Maret 2023
0 komentar:
Posting Komentar