F belajar ketahanan diri! - Satpam Abbasea

belajar ketahanan diri!

Di antara banyaknya tugas-tugas negara yang berseliweran di beranda wasapku tengah malam itu, satu pesan dari senior cukup mengusikku. Dikirimnya sebuah foto dengan caption berbau perintah "baca!" Foto itu memperlihatkanku buku bersampul kumal, warna aslinya hitam, tapi entah karena sudah berpindah tangan berapa kali warnanya jadi seperti terong yang didiamkan lama, berhias bercak aneh. 

Buku itu karya grand syekh kami. "Kritik filosofis Abu al-Barakat al-Baghdadi". Aku bertanya-tanya. Siapa gerangan Abu al-Barakat ini, rasanya belum pernah dengar namanya ada di jajaran para filsuf muslim. Tentu aku tidak menebak-nebak ia sebagai seorang filsuf barat, namanya terlalu timur! 

Ah. Mungkin seorang tokoh aliran filsafat islam yang baru ditemukan. Aku tidak bertanya lebih lanjut mengapa buku itu harus kubaca. Malahan, dijejali banyak bacaan baru sepertinya lebih cocok untuk kulakukan. Sebuah tanggung jawab moral atas amanah yang baru-baru ini kuemban. Aku hanya perlu terus berusaha untuk cocok sebagai "ahlul amanah" sehingga An-Nisa:85 bisa kuamalkan. Adapun khitob "taalibul ilmi" yang tersirat dalam wahyu pertama adalah pijakanku untuk taat kepada perintah-Nya. 

Setelah sebelumnya aku meminta kepercayaan diri, permintaanku beranak pinak. Aku ingin punya ketahanan untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu kusuka, melakukan tanggungjawab harian, pemenuhan hak atas Tuhan, diri ini dan orang lain. Aku juga berdoa agar senantiasa diberi ketertarikan terhadap hal-hal baik, utamanya yang sudah menjadi tanggungjawabku; ibadah, belajar, ngaji. Aku memohon dengan sangat—dibalik rasa bersalahku tiap hari karena bermalas-malasan—agar Tuhan berkenan memberikan serangkaian ketangguhan itu, supaya aku tidak lari sewaktu-waktu, atau menepi kemudian bengong padahal dapur tugasku kacau. Kulo izin Yaa Rabb, mugi Njenengan ridha. 

Sebuah pagi yang diawali dengan qodo solat—beberapa hari setelah pesan itu dikirim, mengantarkanku membuka buku tadi. Tidak buruk.

Kembali ke kitab. Beliau, grand syekh kami dalam epilognya megatakan bahwa warna-warni filsafat itu beragam, dan tiga spektrum induknya ada pada ilmu kalam, tasawuf, dan mazhab paripatetik islam. Dua corak filsafat islam yang disebutkan dirasa tidak masalah, malahan cocok dengan syariat karena diambil dari rahim hukum islam yang paling utama; Alquran dan hadis. 
Sementara filsafat bercorak paripatetik adalah anak angkat yang besar dari tubuh Yunani, asing dan tidak otentik milik islam; bermasalah. 

Permasalahan itu muncul seiring dengan keraguan apakah para aristotelian muslim benar-benar mampu membersihkan filsafat islam dari unsur-unsur dualisme yunani dan segala hal yang tidak cocok dengan agama. Apakah benar ia telah sesuai dengan ajaran islam? 

Aku melihat kecondongan grand syekh pada jawaban tidak (baca: menolak filsafat islam sebagai bagian dari produk islami yang sah) sehingga diperlukan sebuah pisau analisa untuk menguatkan dan menjelaskan sisi penolakan tersebut. Dan pilihan itu jatuh pada sisi kritik Abu al-Barakat al-Baghdadi terhadap Aristotelian, seorang Yahudi dan filsuf murni. Dengan gambaran nantinya kritikan terhadap kredibilitas filsafat islam akan dibangun dalam bingkai kritik 'filsafat murni atas filsafat murni' dan bukan dari sudut pandang ilmu kalam maupun tasawuf. (Dengan tinjauan lebih lanjut bahwa kritikan dari ilmu kalam dan tasawuf terlalu luas dan panjang untuk dikumpulkan.) 

Ini adalah pengalaman pertamaku membaca karya grand syekh. Sebuah langkah untuk memahami bagaimana filsafat islam di pandang oleh kacamata orang-oranh timur itu sendiri. Sangat menarik! 
(To be continued) 

Rabu, 29 Maret 2023


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar