F Forgotten Privilege - Satpam Abbasea

Forgotten Privilege





Kapan lalu tanpa sadar rasanya aku seperti bertanya yang tidak-tidak. Temanku seorang mahasiswi yang rajin, nalarnya penuh dengan pertanyaan juga kehati-hatian, cita-citanya tinggi, seorang introvert yang punya bisnis dari hobinya melukis, “Luar biasa keren! Bahkan kau membayar uang sewa rumah sendiri?” kataku.

Tapi kalimat selanjutnya membuat perasaanku campur aduk, “Kenapa? Kau mau bertukar posisi denganku? Aku juga mau kalau hanya disuruh belajar saja, aku juga mau.” Suaranya sedikit tertahan dan, terdengar menyayangkan pertanyaan bodohku barusan. “Tapi keadaannya yang seperti ini ....”

Aku, dengan segala ketidaksiapan jawaban dan alasan hanya bisa terpojok. “Tidak. Bukan begitu ... maksudku, kau itu keren.”

“Aku tidak mengerti mengapa semua anak yang berkecukupan berharap sepertiku. Mengapa mereka tidak serius saja belajar? Hari-hari dipenuhi dengan belajar itu menyenangkan tahu!”

Aku terdiam sejenak. “Iya. Sangat menyenangkan. Hmm memang nggak banyak orang yang mengerti bahwa belajar itu sebuah privilege. Bukan begitu?”

“Ya, tentu. Belajar itu adalah privilege.” Nadanya memelan. Aku rasa emosinya mulai susut.

“Aku penasaran, apa yang membuatmu begitu suka dengan belajar?”

Ia memandangku dalam-dalam, bibirnya mengulum jawaban. Dalam diamnya yang sebentar itu, aku bisa menangkap binar-binar mata yang tak bisa ia bendung meski mulutnya belum berucap. “Belajar membuatku hidup.”

“Ah. Begitu.” Aku sekarang mengerti makna binaran itu.

“Tapi tentu tidak semua orang merasakan itu. Belum semua. Sama seperti diriku yang dulu. Aku rasa sekolah begitu menjemukan sehingga aku tidak tahu di mana nikmatnya belajar--”

Eureka. Aku mengerti arah pembicaraan ini. “--Dan kita di sini bebas menentukan pelajaran apa yang kita mau, itulah sebab kenikmatannya.”

“Tepat sekali.” Akhirnya ia tersenyum lagi.


Selasa, 31 Oktober 2022

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar