F Duduk bersama madam - Satpam Abbasea

Duduk bersama madam

Hari yang menyenangkan bersama orang-orang yang menyenangkan pula. Sebuah keberuntungan bagiku berada dalam kehangatan orang-orang yang peduli terhadap progresivitas keilmuan masisir; baik dari segi akademis maupun administratif.

Orang-orang itu tidak lain adalah teman-teman dan (terutama) senior-senior  pembimbing kami di kajian. Yang sudah berlelah-lelah memikirkan kemaslahatan orang lain dengan mengurus kajian, masih sempat pula mencarikan sponsor demi tercukupinya kebutuhan kami. Beliau memang penghubung yang baik dan cekatan.

Aku merasa senang dipercaya melakukan sebuah amanat dari beliau, meski hanya sedikit yang bisa kubantu. Seperti mengoordinir teman-teman contohnya. Atau, seperti tadi ketika tiba-tiba namaku disebut dan aku bergegas turun tangga tujuh lantai demi memenuhi mandat yang cukup menegangkan; menyambut nyonya-nyonya mesir yang hendak menyantuni kami.

Beberapa saat kami menunggu di lantai dasar tanpa ada seorang pun dari mereka yang lewat. Ternyata para madam (nyonya-nyonya) tersebut ingin melaksanakan solat jumat terlebih dahulu. Bersama dua orang senior kajian banat yang kuhormati (kuharap suatu saat aku bisa menjadi lebih baik dan bermanfaat seperti mereka), kami segera menyusul ke tempat para madam tersebut berdiri menunggu. Membuntuti dua seniorku, aku terbelalak mendapati ada sebuah masjid besar dengan nuansa Mesir yang kental berdiri megah. Rupanya masjid Fatimah Nabawiyah hanya seperlemparan batu dari tempatku belajar.

Demi menemani para madam, kami mau tidak mau harus ikut duduk di bangku-bangku yang disediakan di tenda pinggiran masjid. Entah karena orang kaya atau apa, mereka terlihat berdebat sejenak dan enggan memasuki tenda. Ternyata dugaanku salah. Seorang madam rupanya memiliki alergi terhadap kucing, jadi beliau bersikeras memilih solat di luar dan terpapar sinar matahari daripada bergumul dengan kucing yang berkeliaran di tenda.

Kami bertiga; aku dan dua seniorku duduk bersama dengan sedikit kikuk di kursi plastik shaf depan madam, berjajar menghadap kiblat. Pengalaman yang lucu, karena tidak ada di antara kami yang pernah mencoba solat fardu (dalam keadaan sehat) sambil duduk. Setelah berundur dengan celingak-celinguk sesama kami, keluar sebuah kesepakatan berupa; Ikuti saja aturan main di tanah Mesir ini. Yaitu orang-orang tuanya, terutama perempuan kebanyakan selalu duduk di kursi ketika solat.

Sesi mendengarkan khutbah kali ini terasa sangat menyenangkan dan syahdu. Di hadapanku, sayap kiri masjid Fatimah Nabawiyah dihiasi pohon-pohon besar tanpa daun. Nampak sejuk dan damai karena musim dingin membawa hawa sepoi-sepoi dan langit biru indah, bukannya suasana yang panas meranggas.

Setiap berberapa menit sekali, segerombolan mahasiswa Indonesia lewat di antara paman-paman yang duduk bercengkerama di toko kelontong sebelah masjid. Entah kapan solat jumatnya. Satu yang kutahu pasti, populasi masisir di ujung darosa meningkat tajam!

Sekembalinya kami ke sekre aku tak terlalu ingat, hanya saja, percakapan yang paling kami ingat saat itu begini,

"Berapa biaya yang kalian butuhkan untuk membayar perpanjangan visa dalam setahun?"
"1000 le mama. "
" Alfu gunaih? Hagah basith jiddan! "

(Hari tersebut diakhiri dengan janji para nyonya untuk memberikan sponsor kami tiap bulannya, dan makan makan)

Jumat, 25/02/2022


CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar