Sabtu, 27 Februari 2021
Saya hanya punya sedikit hal untuk dibagi.
Beberapa buku bacaan pinjaman.
Beberapa lagi bacaan 'curian' di pdf.
Gambar-gambar yang sebenarnya belum rampung.
Dan sekelumit isi otak saya yang sempit.
Hmm.. Tiba-tiba kenapa jadi saya.
Ah, iya. Kata aku memang rasanya terlalu angkuh.
Memanggil diri sendiri dengan saya, rasanya sedikit lebih bijak.
Begitu kata guru bahasa Indonesia saya di kelas sepuluh.
Betul. Begitu.
Ngomong-ngomong, apa kabar, Pak?
Jadi,
Manusia tanpa henti terus membuat sesuatu dan mengarsipkan.
Katanya untuk kenangan.
Kenapa sesuatu perlu dikenang?
Untuk dilihat hari-hari ke depan.
Baiklah.
Ujian kali ini mengingatkan saya pada seorang anak kecil—yang entah dia polos atau memang terlalu rendah diri. Saya agak lupa karena sudah lama tidak bertemu. Tapi mari saya kisahkan.
Senin di tahun 2017. Hari itu dia melaksanakan tugas yang amat penting. Puncak latihan-latihan berat penuh tekanan batin. Ujian negara.
Sekelebat setelah ia masuk, soal dibagikan dan pengawas duduk. Sekelebat kemudian soal-soal sudah terjawab dan dia bingung. Waktu tinggal lima belas menit. Soal terakhir. Soal itu sama dengan 49 soal lainnya, dia sudah hapal polanya. Hanya saja dia gagal paham maksud pembuat soal. Pensilnya ragu akan diarahkan ke abjad a atau b. Semuanya tampak benar. Setelah pasrah, pensil itu akhirnya jatuh di sebuah lingkaran abjad.
Sekelebat kemudian semua siswa buyar. Celoteh kanan dan kiri sibuk memastikan jawaban tadi apakah benar, meleset sedikit kah, atau beruntung karena dapat wangsit. Lorong-lorong penuh dengan siswa. Bergerombol bagai semut menemukan gula, dengan siswa teladan di tengahnya—mentor dan korektor dadakan.
Ah, malangnya anak itu. Dia hanya lapar dan ingin ke kantin. Tapi kenapa manusia-manusia ini tidak mau minggir. Tidakkah cukup semboyan datang kerjakan dan lupakan?
Siang menuju sore setelah ujian negara adalah waktunya rehat, bagi anak-anak lain. Tapi keadaan memaksanya untuk berkumpul di ruang kepala sekolah. Di meja bundar yang selalu membuat darahnya serasa terserap entah ke mana. Di hadapannya ada 11 anak dengan wajah tak kalah tegang. Aneh. Padahal biasanya mereka begitu antusias belajar.
Satu persatu mulai diberi kertas soal ujian yang beberapa jam lalu masih di tangan pengawas. Soal-soal yang tadi sudah susah payah dikerjakan itu, harus dilihat lagi. Dikoreksi satu persatu dengan teliti. Berbekal lembar jawaban kedua dari sekolah, mereka berkutat terus. Mencocokkan apakah nomor ini salah, apakah yang itu betul.
Hasilnya luar biasa. Gemblengan karantina selama setahun. Kepala sekolah berkepala dingin itu berhasil memproyeksikan peringkat anak-anaknya yang akan keluar di daftar nilai Ujian Negara nanti.
Setelah puas menilik nilai, pembahasan soal untuk ujian esok hari dimulai lagi. Begitu terus hingga ujian negara selesai.
Tibalah hari yang paling dinanti seisi sekolah; pesta kelulusan dan pembacaan nilai ujian negara. Wajah harap-harap cemas tampak jelas di barisan ujung sana. Dan ketika nilai dibacakan, anak yang biasanya minder dan aneh itu ada di urutan ketiga!
Dia merasa takjub dan sedikit bangga, tapi banyak merasa bersalah dan kecewa.
Pertama, karena dia merasa sepertinya itu bukan tempatnya.
Kedua, karena sebenarnya dia tidak hadir di hari pembacaan nilai itu.
Dia tidak tahu bagaimana ekspresi orang-orang di sana. Apakah ikut bahagia, terkejut, menyayangkan, atau bahkan mencemooh ketidakhadirannya. Dia tidak tahu.
Apakah sebuah kesedihan ketika orang-orang bahagia sementara kamu tidak ikut dan tidak tahu?
Entahlah. Saya juga tidak tahu.
0 komentar:
Posting Komentar