Aku benar-benar ingin mengingat momen itu. Kebingungan dan segala sumpeknya. Yang tersisa dari momen itu adalah aku yang tergugu di kamar mandi sambil terus mengguyur air, menangis, terus, makin lama dan makin besar. Padahal itu kamar mandi dan hanya ada aku seorang, bukan di kamar, bukan di depan khalayak, tapi tangisanku tetap sama, mencekat.
Ada hal-hal yang tidak bisa keluar.
Andai aku bilang bahwa hari-hariku tiba-tiba dilanda rasa lelah tak berkesudahan, panik, cemas, takut, kalut, padam, kehilangan rasionalitas, bingung apa yang harus diselesaikan dahulu, ingin segala hal tuntas tapi otak, jiwa raga tidak ingin melakukan apapun, pantaskah aku menyematkan kata stres atau depresi?
Ada bagian yang terlalu sentimen untuk diungkap pada dunia maya, tapi aku perlu sedikit catatan pengingat bahwa pernah ada hari yang begitu berat, hari yang tak tahu kapan ujungnya.
Hari di mana aku mendapati bahwa banyak orang memang tidak ditakdirkan untuk berempati sedemikian rupa, tidak akan paham secara utuh.
Hari di mana aku menyadari begitu keras idealismeku, minim apresiasi pada diri sendiri, menyembah ketakutan pada orang lain, mengorbankan diri pada apresiasi mereka yang tidak seberapa, tampil bagus untuk mereka, sakit, picik, pengecut dan kacau. Aku tidak berdaya.
Aku hanya begitu takut untuk ditinggalkan dunia. Aku takut bahwa bantuan akan berhenti karena aku tidak kompeten, aku hanya takut menjalani hari di mana hak-hak istimewa hilang. Aku takut menjalani hari yang tidak biasa dan di luar adatku. Adat dengan lampu sorot dan panggung. Seperti apa rasanya? Aku menggigil.
Bagaimana rasanya diremehkan di pandang sebelah mata, dicampakkan, diberi punggung dan ditinggal dari pergaulan? Aku sedikit lagi pecah.
Tidak ada yang meminta banyak pikiran buruk untuk datang, ia hanya tiba-tiba menyeruak, masuk seenaknya dan sulit, teramat sulit diusir. Aku mengetahui begitu banyak teori kesehatan mental tapi aku tidak mampu untuk menangani diriku sendiri. Aku lemah dan sakit.
Yang paling lucu dari semua ini adalah kenyataan bahwa aku sudah cukup membaik dan akhirnya bisa menulis.
Pada momen gulita, di mana kebencian dan segala emosi negatif menguasai, aku tidak bisa berbicara, dengan keyakinan bahwa tidak akan ada orang lain yang paham. Kalaupun ada, masalah tidak akan selesai begitu saja. Hanya ada aku dan aku (lainnya) yang tak berdaya megurus satu sama lain. Pahit sekali.
Hal terbaik yang bisa kulakan adalah berpikir kemungkinan terburuk.
Aku tidak tahu mengapa perasaan buruk ini datang, padahal aku tidak membunuh orang, aku tidak mencuri, aku tidak kehilangan martabat, tidak melakukan hal-hal memalukan didepan umum, tidak kehilangan orang tua dan orang-orang berharga, aku tidak berhutang milyaran dan dikejar preman, loh?!
Akhirnya tegangan mereda dan aku mendapatkan pertolongan. Alhamdulillah.
Jadi, ada macam-macam yang masih perlu dipelajari. Belajar untuk tahu diriku sendiri, belajar untuk sehat fisik, mental, lingkungan, dan banyak lagi.
Jika bisa memilih untuk mengkondisikan diri jadi lebih baik, setakut apapun, lawan. Kalau sedang lemah, ya tidur aja.
0 komentar:
Posting Komentar