Kemarin saat kami piknik tipis-tipis di pinggir sungai nil bersama 5 anggota kelas LSF kami yang tersisa, mentor kami melakukan konseling kecil-kecilan. Pertanyaan seputar,
"Bagaimana selama ini kamu belajar?"
"Jam berapa kamu bangun dan tidur?"
"Apa saja yang kamu lakukan seharian?"
"Apa kendala-kendala yang dialami saat belajar?"
Semua pertanyaan itu membawa kami pada kesadaran bahwa kami belum membuat kemajuan berarti dalam hari hari kami. Untukku pribadi, rasanya seperti melihat kekosongan hati, jiwa, dan pikiran dari hal-hal yang bermanfaat.
Tapi beliau berkata lain, katanya,
"Kalian hebat! Dengan berbagai kendala dan keterbatasan yang kalian sadari kalian masih terus bertahan dan mau belajar di sini."
Aku rasa kata-kata beliau terlalu dibesar-besarkan demi menghibur dan membesarkan hati kami yang terlanjur merasa tidak berguna dan belum bisa apa-apa. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, itu tidak sepenuhnya salah arena kendala-kendala itu nyata adanya.
Distraksi dari hp itu nyata! berapa jam dihabiskan untuk sekedar bermain hp? rasa malas, mood, pekerjaan rumah, putus asa, rendah diri, ekspektasi, serta cita-cita luhur kami yang terlampau besar tapi jalan meraihnya saja kami tidak tahu. Masih bingung.
Kemudian beliau melanjutkan, ada tiga tahapan yang setidaknya bisa kami tempuh demi meniti karir keilmuan itu:
Tahap Pertama: Kesadaran dan Rasa Syukur
Hal ini dibangun atas dasar konklusi sebelumnya bahwa di tengah-tengah keterbatasan yang ada kami masih punya cita-cita belajar dan mau bertahan.
Memangnya keinginan seperti itu hal yang krusial? Tentu saja.
Fresh graduate seperti kami mendominasi generasi generasi baru ma sisir yang datang belakangan. Artinya apa? ini medan pertama kami bertempur. Sedangkan senjata yang kami punya belum cukup canggih dan lengkap jika dibandingkan dengan senior senior yang punya nama besar di sini—di mana background keilmuan dan nalar berpikir mereka telah di atas sejak dini (di pesantren mereka sebelum berangkat ke Mesir) jauh lebih lama dari kami yang baru seumur jagung.
Tentu kami harus bersyukur diberi kesempatan untuk bisa belajar di sini. Meski memang harus merintis dari awal. Tentu tak perlu malu berada pada forum forum belajar berisi orang-orang hebat tapi memang perlu penyokong berupa belajar tambahan.
Proses yang Kedua: Membuat progress kecil harian
Dengan kesadaran di proses pertama, maka perlu tindak lanjut berupa langkah kecil yang sesuai bagi perkembangan keilmuan kami. Tentu perlu dipahami bahwa orang-orang besar tidak memulai karir mereka dari hal-hal super, nihil.
Hal-hal besar dimulai dari perbaikan-perbaikan kecil yang dilakukan secara sadar dan konsistensi. Artinya sembari belajar mengikuti tuntutan pendidikan dari kampus ataupun tempat belajar, perlu ada ruang privat untuk membangun diri sendiri kecil-kecilan.
Satu hal yang penting untuk diingat!
Dalam proses ini, lepaskan semua beban berupa keinginan keinginan untuk harus menjadi hebat, superior, paling unggul dan luar biasa. Itu hanya akan menjadi beban yang menghambat.
Jangan pula terus menerus rendah diri dengan berkata, "Kok aku baru bisa segini, kok aku merasa nggak berkembang, kok aku gak bisa-bisa,ya?"
Please, stop judging yourself too hard梁 Sebuah kemajuan yang sangat kecil itu layak diapresiasi, terutama oleh dirimu sendiri. Semua orang punya potensi. Jalannya saja yang nggak sama. Menuntut diri sendiri dengan beban ekspektasi saja jangan, apalagi membandingkan diri untuk jadi seperti orang lain.
Belajarlah sebagaimana pembelajar sejati yang ingin mengisi gelasnya yang mungkin baru sedikit ataupun kosong, ingin mengetahui kadar sejauh mana dirinya bisa belajar, dan belajar karena keinginan untuk terus terlibat dengan ilmu itu sendiri, tanpa terus menerus menuntut hal-hal transenden yang sebenarnya hanya bonus.
Proses yang Ketiga: Pertanyaan terhadap diri sendiri, ingin jadi apa ke depannya?
Untuk hal ini, jurusan kuliah sebagaimana yang telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya adalah sebuah tanggung jawab besar. Pun bisa berarti lebih jauh dari itu.
Dilema yang biasa dirasakan oleh para pencari ilmu agama adalah soal,
"Apakah kita harus menguasai semua diskursus keilmuan islam atau hanya fokus saja pada jurusan jurusan yang kita ambil?"
Dua-duanya sama-sama sulit.
Untuk memilih pilihan pertama, ada harga besar yang harus dibayar berupa lamanya waktu yang dibutuhkan, tentu bisa makan puluhan tahun untuk jadi ulama besar! Sementara keadaan setiap orang berbeda-beda, banyak tuntutan lain yang harus diselesaikan, alih-alih bisa mencari ilmu selama itu.
Pilihan kedua tak kalah rumit. Sebagaimana yang diketahui, ilmu agama itu saling berkaitan. Sebuah diskursus keislaman tidak bisa berdiri sendiri dan terbebas, selalu ada ikatan ikatan yang perlu disambung dari diskursus keislaman yang lain, demi keutuhan pemahaman terhadap agama itu sendiri.
Pun jika dihadapkan dengan realitas sosial, masyarakat pasti bertanya macam-macam—tidak peduli kamu keluaran jurusan keislaman apa.
Lalu solusinya bagaimana? ini sama halnya dengan permasalahan seputar: haruskah kita menjadi spesialis atau generalis? Jawabannya: transformasikan saja keduanya dengan konsep T :
Kita perlu memilah keilmuan apa yang nantinya akan kita perdalam dan jadi corak khas pemikiran kita. Sisanya, kita bisa baca-baca dan perluas keilmuan lain sebagai wawasan dan sudut pandang baru.
Sabtu, 13 Agustus 2022
pelajaran berharga
0 komentar:
Posting Komentar